MajalahCSR.id – Media BloombergNEF dan Bloomberg Philanthropies melaporkan, negara maju yang tergabung dalam G20 ternyata melanjutkan kebijakan subsidi mereka pada bahan bakar fosil yang membebani kawasan. Alih-alih berkomitmen mengatasi perubahan iklim, negara-negara G20 justru menfasilitasi dana US$ 3,3 triliun lebih dari Rp 47,8 ribu triliun untuk subsidi energi fosil sejak Perjanjian Iklim Paris 2015 silam.
Mengutip Inhabitat dari The Guardian, Artha Williams, Ketua Divisi Lingkungan di Bloomberg Philanthropies mengatakan, negara-negara itu sudah berkomitmen dan berjanji di atas kertas turut andil dalam menyelesaikan masalah iklim, tapi aksi yang sudah dilakukan sangat berkebalikan.
“Di atas kertas, para pemimpin global dan pemerintahan yang tergabung dalam G20 memahami urgensi penyelesaian iklim di mana masing-masing sudah berambisi mengurangi bahan bakar fosil dan melakukan transisi ke ekonomi yang rendah karbon,” papar Williams, “namun realitanya aksi yang seharusnya dilakukan hingga kini sangat jauh dari apa yang bahkan dibutuhkan.”
Pembangunan infrastruktur yang membutuhkan energi fosil masih terus dilakukan secara sembrono, kritik Williams. “Kita tak sekedar butuh kata-kata, melainkan tindakan.”
Michael Bloomberg dan utusan khusus PBB sudah mendesak sejumlah pemerintah untuk melakukan aksi sebelum pertemuan G20 yang berlangsung pada Jumat (22/7/2021) kemarin di Naples, Itali. Para Menteri energi dan lingkungan yang tergabung dalam G20 bertemu dan membicarakan faktor kunci penanganan lingkungan. PBB mendapat dukungan dari lembaga independent yang Bernama Net-Zero Asset Owner Alliance (NZAOA) guna mendukung komitmen baru dalam pertemuan tersebut.
Günther Thallinger, Ketua NZAOA, mengungkapkan, selagi para pengambil keputusan di G20 bertemu harus disertai aksi bersama karena aksi parsial disebut tak mampu menyelesaikan persoalan. “Janji dan target yang dilakukan masing-masing tak cukup mengubah kondisi di lapangan,” tegas Thallinger.
Laporan terbaru dari International Institute for Sustainable Development menyebutkan, sebanyak 32 negara hanya mampu mengurangi emisi CO2 sebanyak 5,5 miliar ton ekuivalen pada 2030. Ini setara dengan emisi yang diproduksi oleh 1.000 pembangkit listrik tenaga batubara.