MajalahCSR.id – Pohon dan tanaman di bumi mampu mengikat karbon di dalam tanah. Menyerapnya dari udara dan di saat bersamaan melepaskan oksigen. Jika anda kebetulan menggali tanah, ini akan membebaskan karbon kembali ke atmosfir. Pada intinya, fakta ini sedikit banyak menjelaskan bagaimana industrialisasi pertanian adalah kontributor utama terjadinya pelepasan karbon yang memicu perubahan iklim.
Memberi solusi pada masalah ini akan menuntun pada kegiatan bertani tradisional yaitu dengan mempersiapkan tanah menjelang penanaman bibit. Namun di balik itu, pola penanaman tradisional justru bisa dilirik sebagai sumber penyelesaian masalah. Metodenya bernama pertanian regeneratif, dan disebut lebih mudah dan sederhana, yang menggabungkan bercocok tanam dan berternak.
Apa itu pertanian regeneratif?
Dikutip dari Inhabitat, Jumat (31/12/2021), metode praktik pertanian ini menciptakan siklus perawatan tanah melalui penggarapan yang bertanggung jawab dalam manajemen tanah. Ini merupakan istilah lain dari praktik mengkompos hingga menyuburkan hasil panen. Tujuan utama dari cara ini adalah untuk memperkuat dan mempertahankan keberagaman biologis dan nutrisi di dalam tanah pasca digarap dari waktu ke waktu.
Sebuah tayangan dokumenter di Netlix berjudul “Kiss the Ground” mengungkap soal pertanian regeneratif, yang mana menjelaskan perbedaan antara “debu dan tanah”. Dokumenter tersebut secara gamblang menegaskan, bahwa tanah yang sudah digarap, tidak bisa kembali dalam kondisi awal yang elemennya sangat kompleks, kaya komposisi nutrisi tanah.
Mengapa kita butuh pertanian regeneratif?
Mendesaknya kebutuhan untuk mengkonversi ke metode pertanian regeneratif sangat jelas: suhu (bumi) yang kian meninggi dan kondisi kekurangan air yang makin kentara mempengaruhi pasokan pangan di seluruh dunia. Kekeringan, erosi, banjir dan kebakaran lahan adalah tanda kesehatan tanah yang mengkhawatirkan. Penyebab dari kerusakkan tanah ini beragam. Beberapa di antaranya adalah pemakaian pestisida, obat pembasmi jamur, dan zat-zat kimiawi lain. Selain itu juga lantaran penggarapan tanah berlebihan dan praktik keliru soal pemanfaatan lahan.
Transisi menuju pertanian regeneratif dimaksudkan berinvestasi ke pertanian skala kecil yang menggarap lahan melalui cara lama. Cara-cara itu seperti merawat tanaman secara organik, dan menggembala ternak di lahan yang disesuaikan pada waktu. Metode ini ternyata lebih banyak memberikan keuntungan daripada merugikan tanah. Selain itu, merupakan praktik penanaman yang mengindari pengolahan yang semena-mena.
Semua kegiatan dalam pertanian regenerative itu saling terhubung guna mendorong pertanian/perkebunan yang banyak manfaat. Bayangkan, mengganti cara produksi panen terindustrialisasi yang masif dengan pertanian skala kecil yang lebih terkelola dan manajemen lahan yang lebih sehat. Jika sepertiga saja dari keseluruhan praktik pertanian menggunakannya dalam produksi pangan, ini merupakan pergantian (cara) yang mampu mengakomodasi kebutuhan pertanian yang lebih baik bagi generasi selanjutnya.
Apa keuntungan pertanian regeneratif?
Para penggiat pergerakan ini percaya bahwa pertanian regeneratif tidak hanya sekedar memperlambat, melainkan juga membalik ancaman perubahan iklim. Pasalnya, pertanian ini kembali membangun sistem organik tanah dan menyimpan keanekaragaman hayati tanah, yang mengontrol pengikatan karbon dan memperbaiki efisisensi air.
Sebagai tambahan, guna mendukung para petani kecil di seluruh dunia, melindungi tanah untuk masa depan, pertanian regeneratif menghasilkan dampak di lahan pangan: penghilangan pupuk atau zat kimiawi lain yang artinya tak membutuhkan perawatan yang mahal untuk mengembalikan fungsi tanah. Selain itu, manfaat lain dari praktik ini adalah lebih banyak tenaga manusia, transportasi yang hemat, dan keuntungan tinggi.
Sejatinya adalah, planet ini tidak akan terus memenuhi kebutuhan produksi pangan jika kita terus mengelolanya dengan cara yang sama (industrialisasi pangan) yang telah mengubah susunan tanah. Di luar kesuburan tanah terus menurun, atau keberagaman hayati yang menandakan sehatnya lingkungan, terdapat faktor penting lain yang patut dicermati untuk agrikultur masa depan: hilangnya pemahaman dan praktik pengelolaan lahan yang bijak. Namun, sejak pertanian regeneratif yang memadukan pertanian dan peternakan mulai mendapat tempat, hal ini bisa menjadi tren baru. Pengetahuan dan manfaatnya bisa menembus antar generasi.
Isu ini tidak bisa lagi dikesampingkan, karena para pakar ilmu tanah memperkirakan dengan kondisi sekarang yang sudah mulai banyak bibit sumber pangan yang hilang dan rusak, kita akan menghadapi kelangkaan pangan yang parah dalam 50 tahun ke depan. Alih-alih mencari metode dari laboratorium, pertanian regeneratif adalah solusi terbaik karena tak hanya melindungi lahan, namun juga lingkungan akibat kerusakan terkait perubahan iklim akibat terlepasnya karbon.
“Tanpa perlindungan dan regenerasi kondisi tanah pada 4 miliar hektar lahan pertanian, delapan miliar hektar lahan penggembalaan, dan 10 miliar hektar hutan dunia, akan menjadi mutahil memberi makan penduduk bumi, menjaga kenaikan suhu di bawah 2°C atau menghentikan kepunahan keberagaman hayati,” demikian menurut lembaga Regeneration International.
Apa yang cocok bagi pertanian regeneratif?
Sejumlah pertanian berjenis permakultur dan organik yang berada di bawah metode pertanian regeneratif, seperti akuakultur, agroekologi, agroforestri, biochar, kompos, tanaman pakan holistik, no-till management, penggunaan tanaman tahunan, dan silvapastura.
Meskipun cara ini menjanjikan, namun butuh secepatnya diaplikasikan. Selain itu, guna menangkal krisis iklim yang kian memburuk, pertanian regeneratif ini perlu koordinasi melalui pendekatan global. Kabar baiknya, di sejumlah tempat, praktik ini dikabarkan sudah berjalan. Konsumen pun perlu mendukung dengan membeli hasil bumi dari praktik ini. Tentu saja dari lahan pertanian regeneratif yang sudah menerapkan keberlanjutan yang memperhatikan lingkungan, ekonomi, dan hak-hak buruh mrlslui label pengakuan.