MajalahCSR.id – Lembaga energi independen, Institute for Essentials Service Reform (IESR), belum lama ini menyampaikan hasil risetnya terkait alat masak listrik di Indonesia. Tujuan studi ini adalah mengeksplorasi potensi pengaplikasian kompor induksi di lingkungan keluarga urban dan membantu apa saja yang dibutuhkan serta implikasi dari adopsi peralatan tersebut. Studi dilakukan melalui pengamatan terhadap pihak kedua, focus group discussions (FGD) melibatkan konsumen potensial rumah tangga perkotaan, serta tambahan dari wawancara pada pemangku kepentingan dan para ahli.
Sejak program konversi minyak tanah ke LPG di 2007 lalu, konsumsi LPG di Indonesia meningkat pesat. Akibatnya, impor LPG pun melesat dari awalnya kurang dari 1 juta ton pada 2009 jadi 6,4 juta ton di 2020. Hal ini belum termasuk subsidi pada LPG kemasan 3 kg yang menyedot bujet pemerintah. Kondisi ini menyebabkan pemerintah menginisiasi program konversi selanjutnya, dari LPG ke kompor induksi atau listrik.
Melalui Dewan Energi Nasional (DEN), pemerintah menyiapkan strategi pengurangan impor LPG dan subsidi, Di dalamnya termasuk program konversi ke kompor listrik. Rencana targetnya adalah 22% energi yang digunakan untuk proses memasak di 2030 bersumber dari listrik. Guna mendukung program konversi ini, pemerintah menyiapkan subsidi senilai Rp 1.000.000 (USD 70) per rumah tangga pada 2022 dengan menargetkan 8,3 juta rumah tangga.
Selain itu, PLN, sebagai perusahaan negara, juga telah menyiapkan sejumlah insentif melalui program satu juta kompor listrik. Ada pun insentif yang dimaksud adalah pendistribusian kompor listrik gratis, diskon ‘upgrade’ untuk konsumen lama, upgrade cuma-cuma bagi pembangunan perumahan baru yang dilengkapi kompor listrik, serta memasukkan kompor listrik ke dalam program subsidi kredit kepemilikkan rumah.
Berikut 10 hal menarik yang ditemukan dalam riset baru-baru ini:
- Pemerintah belum menyusun kerangka peraturan untuk mendukung program konversi LPG ke kompor listrik, serta belum menunjuk “task force” atau coordinator unutk memastikan implementasi program.
- Dari perspektif masyarakat, konversi ke kompor listrik lebih menghasilkan sejumlah manfaat dibanding biaya. Salah satu manfaat penting adalah soal kesehatan di mana dampak polusi dalam ruang jadi lebih kecil.
- Di sisi lain, terjadi dampak yang berasal dari peningkatan emisi gas rumah kaca, yang berasal dari pembangkit listrik tenaga batu bara. Penggunaan energi terbarukan butuh ditingkatkan hingga 80% untuk pembangkit listrik guna mencegah meningkatnya emisi gas rumah kaca.
- Mayoritas rumah tangga yang terlibat dalam FGD mengaku tertarik pada kompor listrik untuk keuntungan lain seperti meningkatkan keamanan pada proses memasak, mudah dibersihkan, serta penampilan (kompor listrik) yang terkesan mewah dan modern. Pertimbangan selanjutnya yang lebih kecil adalam terkait kesehatan, (keamanan) lingkungan, atau manfaat ekonomis.
- Ganjalan dari mayoritas rumah tangga yang ingin beralih ke kompor listrik adalah terbatasnya daya listrik di rumah mereka. Sebanyak 90% dari populasi rumah tangga memiliki daya listrik 1.300 watt atau lebih rendah. Kepastian suplai listrik dari PLN menjadi pertimbangan lainnya.
- Tingginya harga komponen kompor listrik masih jadi hambatan utama dalam proses konversi, terutama bagi kelompok berpendapatan rendah. Distribusi kompor listrik secara gratis bisa jadi solusi pada masalah ini.
- Bagi rumah tangga yang memakai LPG non subsidi, konversi ini bakal mengurangi kebutuhan energi untuk proses memasak. Bagaimanapun, kebutuhan energi untuk memasak bakal terus meningkat kecuali mereka diberikan subsidi listrik. Hal ini memperlihatkan adanya rintangan bagi kelompok penghasilan menengah tanpa subsidi, untuk beralih ke kompor listrik.
- Skema subsidi listrik terbaru berdasarkan koneksi daya, akan menunda rumah tangga penghasilan rendah dalam program konversi kompor listrik kaerna mereka akan kehilangan subsidi (listrik). Modifikasi pada skema subsidi listrik jadi krusial agar rumah tangga ini bisa tetap beralih ke kompor listrik.
- Cara memasak di Indonesia umumnya cocok memakai kompor listrik (melalui adaptasi yang mudah), namun masih ada keengganan dari konsumen karena terkait metode memasak, seperti olah makanan dengan membakar dengan api langsung atau menggunakan wajan yang sangat cembung.
- Hanya dua pabrik di Indonesia yang memproduksi kompor listrik dengan kapasitas 317 ribu unit. Jumlah ini tidak cukup untuk memenuhi target sebaran pemerintah. Meski begitu, penyebaran dengan program pengadaan pemerintah secara besar-besaran bisa menarik investor asing dan pabrik elektronik yang sudah ada untuk turut memproduksi kompor listrik.
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah standardisasi kualitas produk nasional yang belum ada. Kenyataan ini menempatkan konsumen pada risiko mendapatkan produk yang berkualitas rendah.
Artikel ini bersumber dari IESR yang ditulis oleh Julius Christian, Periset dan Pakar Sumber Energi Bersih berjudul “10 Interesting Findings of Electric Cooking”.