banner
Filantropi Indonesia menghelat webinar terkait filantropi terhadap perubahan iklim dalam rangkaian acara Filantropi Festival 2022 yang digelar 2 - 30 Juni mendatang. Foto : Istimewa
Wacana

Sudut Pandang Filantropi pada Urgensi Perubahan Iklim di Indonesia

250 views

MajalahCSR.id – Filantropi telah menjadi aktor penting dalam mengatasi tantangan-tantangan besar secara global. Dalam sisi filantropi, perubahan iklim bukan hanya sekadar masalah lingkungan, namun aspek kehidupan lainnya juga memiliki efek plural. Menurut The Organization for Economic Co-operation and Development (OECD), filantropi swasta untuk pendanaan berkelanjutan mencapai USD 42,5 miliar antara 2016 dan 2019. Dana itu dapat dimanfaatkan bagi kegiatan penyelamatan dari perubahan iklim.

Laporan Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) PBB, memperkirakan bahwa dalam dekade ini saja, perubahan iklim akan mendorong 32-132 juta orang ke jurang kemiskinan, serta 350 juta orang akan menghadapi kelangkaan air pada tahun 2030. Perubahan iklim juga merupakan faktor penting yang harus diperhatikan dalam pembangunan berkelanjutan (SDGs) karena mencakup banyak aspek seperti air, energi, infrastruktur, kota-kota, pertumbuhan ekonomi, lautan, keanekaragaman hayati, yang semuanya juga merupakan tujuan dalam SDGs.

Dengan mempertimbangkan keberhasilan SDGs di Indonesia, Filantropi Indonesia Festival (FIFest) yang kembali digelar tahun ini bertema “Filantropi HUB untuk Penguatan Ekosistem Filantropi dalam Percepatan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan/SDGs”. Melalui FIFest 2022 juga, Filantropi Indonesia memulai misinya untuk menjadi pusat filantropi di Indonesia. Pusat di sini dimaksudkan untuk mendukung pembiayaan inovatif guna mempercepat pencapaian SDGs, termasuk pembiayaan yang berkaitan dengan iklim.

Salah satu representasi dari gerakan dukungan filantropi terhadap perubahan iklim yakni #PhilanthropyForClimate milik WINGS, sebuah asosiasi filantropi internasional yang memiliki 170 organisasi anggota di 55 negara. Alice de Moraes Amorin Vogas, Project Coordinator Global Philanthropy for Climate Movement WINGS, dalam webinar FIFest 2022 bertajuk ”Increasing Awareness and Aligning Philanthropy Support for Climate Action in Indonesia” yang dihelat Selasa (14/6/2022) lalu mengatakan, saat ini lembaganya sudah menaungi sebanyak 550 organisasi yang berkomitmen untuk mengawal berbagai persoalan terkait perubahan iklim dalam gerakan tersebut.

Webinar tersebut menjadi kolaborasi antara Filantropi Indonesia dan Climateworks Centre dengan dukungan dari Tropical Forest Alliance (TFA). Munculnya organisasi yang fokus pada perubahan iklim mulai banyak terlihat sejak 2019, dengan komitmen untuk berkontribusi menyelamatkan bumi.

“Perlu kolaborasi untuk mempermudah pemahaman bahwa kita sama-sama ingin mengatasi perubahan iklim bersama,” kata Alice. Oleh karena itu, ia menyarankan bahwa pihak yang terlibat punya pendekatan profesional dan strategis dan tidak menetapkan satu inisiatif wajib.

“Semua boleh memiliki gerakan implementasi sendiri. Perubahan iklim menjadi suatu permasalahan dan tantangan yang memberikan dampak terhadap upaya-upaya filantropis dari semua elemen dan semua aspek,” sambung dia.

Beragam cara selamatkan perubahan iklim

Sementara itu, Belantara Foundation, berupaya membentuk konservasi hutan sebagai bagian aksi lain untuk mengurangi dampak perubahan iklim. Caranya kerjanya, menurut Dolly Priatna, Direktur Eksekutif Belantara Foundation yaitu melalui pendekatan perlindungan dalam implementasinya, melakukan restorasi hutan yang terdegradasi, dan meningkatkan ekonomi sosial masyarakat melalui kegiatan perhutanan.

Ada lima sektor yang diharapkan dapat berkontribusi untuk penurunan emisi, kata Dolly. Pertama, kehutanan kemudian energi, sampah, pertanian, dan proses industri. Harapannya, pemerintah dapat membantu menurunkan emisi hingga 17,2% dari 70% business as usual (BAU).

Untuk mendukung komitmen terkait perubahan iklim tersebut tentu diperlukan pendanaan agar dapat mencapai target yang ditentukan. Guntur Sutiyono, Indonesia Country Lead Climateworks Centre mengatakan, untied funding (pendanaan tidak terikat) merupakan salah satu upaya yang bisa ditempuh untuk bergerak dalam isu perubahan iklim.

Hal ini sangat penting untuk membuat penilaian dan menetapkan prioritas untuk menarik para donor. Sebab masih banyak organisasi yang tidak spesifik menjalankan sebuah proyek, sehingga tidak dilihat sebagai potensi.

“Untied funding bisa membuat desain antara pemberi dan penerima manfaat. Kita bisa memengaruhi keputusan dengan topik berat seperti perubahan iklim. Upayakan langkah ini tidak menjadi transaksional dengan funder, tetapi tawarkan upaya yang bisa dilakukan bersama untuk mencari solusi dari permasalahan yang ada,” jelas Guntur.

Di pihak lain, kepedulian terhadap perubahan iklim ternyata dimiliki korporasi. Lucius Dinto Pramudyo, Sustainable Business, Monitoring, and Reporting Manager Unilever Indonesia Foundation mengungkapkan, untuk setiap produk Unilever yang digunakan konsumen dalam rumah tangga, berkomitmen mengurangi jejak karbon dari setiap 44 jenis produknya. Unilever telah memiliki climate transition action plan untuk bumi yang lebih sehat, dan berkomitmen menggunakan zero emission pada 2039.

“Ada beberapa lingkup yang kita targetkan dalam produk Unilever, salah satunya dengan menggunakan material atau bahan baku berbasis pertanian,” ungkap Lucius.

Unilever, sebut Lucius, akan meningkatkan smart agriculture (praktik-praktik pertanian yang lebih ramah lingkungan) terhadap para petani di beberapa komunitas seperti kacang kedelai hitam dan gula merah. Lucius mengatakan, sektor pertanian juga memiliki kontribusi signifikan dalam emisi gas rumah kaca dan memiliki kedaulatan pangan dalam hadapi perubahan iklim.

banner