Pemerintah kini makin serius dalam upaya pelestarian lingkungan. Empat tahun silam, pemerintah melalui Kementerian Kehutanan mengeluarkan Peraturan Menteri Kehutanan, nomor: P. 87/Menhut-II/2014 yang disempurnakan dengan P.89/MENLHK/ SETJEN/KUM.I/11/2016, tentang PEDOMAN PENANAMAN BAGI PEMEGANG IZIN PINJAM PAKAI KAWASAN HUTAN DALAM RANGKA REHABILITASI DAERAH ALIRAN SUNGAI. Peraturan ini berisi panduan bagi industri pemilik Ijin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH), dalam melakukan rehabilitasi lahan terutama di sekitar daerah aliran sungai (DAS).
Peraturan yang penerapannya mandatory ini siap menyambar perusahaan-perusahaan nakal dengan sanksi – hingga pencabutan IPPKH – (pasal 39 dan 40) bila tak mengindahkan kewajiban ini. Sempat memicu sikap kontra dari banyak perusahaan pemegang IPPKH, karena dianggap membebani cost perusahaan, peraturan ini perlahan mulai dipatuhi. Salah satunya oleh PT Indominco Mandiri, perusahaan tambang yang berlokasi di Bontang, Kalimantan Timur.
Pada acara serah terima areal penanaman dalam rangka rehabilitasi daerah aliran sungai PT Indominco Mandiri (IMM) kepada Kementerian Kehutanan RI, di Gedung Manggala Wanabakti, Jl. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta, Rabu (21/11), PT IMM menyerahkan areal rehabilitasi mereka seluas 3000 ha kepada pemerintah. Penyerahan tersebut merupakan kali kedua setelah sebelumnya perusahaan yang bernaung di bawah induk perusahaan PT Indo Tambangraya Megah, Tbk. (ITM) ini mampu merehabilitasi 600 ha lahan pada 2013.
PT IMM adalah pemegang IPPKH total seluas 21.097,80 Ha. Sesuai Keputusan Menteri Kehutanan nomor SK.2628/Menhut-V/RHL/2012, PT IMM berkewajiban melakukan penanaman dalam rangka rehabilitasi lahan seluas 21.100 Ha yang seluruhnya berada di kawasan Taman Nasional Kutai, Kalimantan Timur. Penanaman yang sudah dilakukan mencapai 6.600 ha atau sekitar 31 % dari rencana penanaman mengacu pada surat keputusan.
“Perusahaan yang mampu melakukan penanaman pohon minimal 700 batang per hektar, dianggap berhasil,” kata ketua Tim Penilai, Wahyudi. Dari catatan penilai, PT IMM mampu melebihi ekspetasi. Perhektarnya jumlah pohon yang ditanam mampu menembus angka 1.033 batang. Acara pemaparan dilanjutkan dengan serah terima dengan penandatanganan dari pihak kementerian yang dalam hal ini diwakili Direktorat Jenderal Pengendalian DAS dan Hutan Lindung, Ida Bagus Putra Parthama.
Dalam sambutannya, Ida Bagus Putra menyampaikan pesan pentingnya rehabilitasi ini dilakukan agar DAS kawasan Kalimantan tidak sekritis yang ada di pulau Jawa yang mengalami defisit air. FAO bahkan menilai ketersediaan air di Jawa berada pada angka 1.750 m3 di bawah rata-rata per kapita per tahun, di bawah standar kecukupan air dunia yang mencapai 2.000 m3 per kapita per tahun. Dan ironisnya, fakta tersebut baru mengacu kuantitas, belum pada kualitas.
“Sekarang hari menanam pohon (yang diperingati setiap tanggal 28 Nopember) diperluas menjadi hari pemulihan DAS,”jelas Ida bagus Putra. Ida berharap pemangku kepentingan pun menanam pohonnya dengan jenis yang disesuaikan dengan keinginan masyarakat setempat. Terlebih untuk kawasan hutan lindung sebaiknya dipilih jenis tanaman yang tidak untuk ditebang, seperti tanaman buah-buahan.
Dalam perbincangan terpisah, Direktur PT Indominco Mandiri, Era Tjahya Saputra, menyebut, rehabilitasi ini sebagai perwujudan ungkapan kepedulian perusahaan pada lingkungan. “Untuk jenis yang ditanami merupakan tanaman (kayu) keras, karena lokasi penanaman yang jauh dari lingkungan masyarakat,” ungkap Era. Sementara usia tanaman yang dinilai layak untuk diserahterimakan kepada pemerintah minimal berumur 3 tahun.
Reklamasi atau Rehabilitasi?
Pada sesi wawancara, Direktur Kawasan Konservasi Tanah dan Air, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Muhammad Firman menjelaskan, “Semua perusahaan yang memiliki IPPKH, diwajibkan melakukan rehabilitasi DAS,” tegasnya.
Kewajiban yang harus dipatuhi cukup banyak, diantaranya reklamasi dan rehabilitasi DAS. Lantas apa perbedaan keduanya? “Setelah perusahaan melakukan reklamasi, maka perusahaan tetap melakukan pengawasan terhadap daerah reklamasinya. Sementara untuk rehabilitasi, setelah selesai dilakukan, perusahaan menyerahkan kawasan rehabilitasi pada pemerintah, sehingga tak lagi punya kewajiban untuk mengawasi (karena sudah dalam pengawasan pemerintah),” papar Firman. Hal yang menjadi pembeda lainnya, reklamasi dilakukan dalam kawasan IPPKH sementara rehabilitasi di luar kawasan ijin.
Setelah rehabilitasi selesai, tidak langsung diserahterimakan, karena ada tim penilai dari dinas kehutanan setempat yang menguji kelayakan wilayah rehabilitasi. Sementara kementerian melakukan supervisi atas pengujian tersebut. Apabila belum dilakukan serah terima pada pemerintah, saat terjadi longsor, kebakaran, dan atau hama penyakit, lanjut Firman, tetap bakal jadi tanggungan pihak perusahaan.
Bagaimana dengan penetapan luas rehabilitasi? “Dari luasnya IPPKH ditambah 10%,” tegas Firman. Atau dengan perbandingan 1 (luas IPPKH) banding 1 (luas rehabilitasi) ditambah 10%. Angka sepuluh persen ini untuk mengatasi situasi lahan yang di luar dugaan. Contohnya, mengganti lahan yang ternyata sudah dijadikan kawasan pesawahan oleh masyarakat lokal.
Luas lahan kritis di Indonesia yang mencapai 14 juta Ha, menurut Firman, setidaknya dapat tersolusikan dengan upaya rehabilitasi DAS ini. Meskipun angka luasan hektare rehabilitasi per perusahaan seperti PT IMM yang hanya 21.100 ha, namun karena juga dilakukan oleh banyak perusahaan lain, maka bakal banyak lahan kritis yang bisa terselamatkan.