MajalahCSR.id – Aktivis iklim, Greta Thunberg dikabarkan bakal merilis buku terbarunya yang berjudul “The Climate Book”, pada musim guru atau sekitar September mendatang. Lebih dari 100 orang berkontribusi pada buku tersebut, yang berbagai sudut pandang soal bagaimana krisis di bumi yang terhubung satu sama lain.
“Aku sudah memutuskan unutk memakai platform-ku guna memnghasilkan buku berdasarkan sains terkini, sebuah buku yang mengupas iklim, ekologi, dan krisis keberlanjutan secara holistic,” ujar Thunberg. “Hal ini karena krisis iklim adalah, tentu saja, hanya sebuah gejala dari keseluruhan krisis keberlanjutan. Harapanku, buku ini jadi semacam sumber acuan untuk memahami sejumlah perbedaan terkait krisis yang saling terkait.”
Melansir dari The Guardian, para kontributor melakukan pendekatan topik iklim dari berbagai perspektif. Para ahli dari seluruh dunia turut menyampaikan pemikirannya, termasuk ahli es dan lautan, Ricarda Winkelmann dari Postdam, Jerman, pakar biologi kelautan, Ayana Elizabeth Johnson, hingga ilmuwan geografi dari Chad, Hindou Oumarou Ibrahim. Novelis asal Kanada, Margaret Atwood, dan ekonom Perancis, Thomas Pikkety adalah deretan penulis lainnya.
Thunberg sebelumnya sudah mempublikasikan 3 buku, dua diantaranya dibantu oleh orang tua dan saudara perempuannya. Ketiganya masing-masing berjudul “Scenes from The Heart”, “Our House Is on Fire”, dan “No One Is Too Small to Make a Difference”. Dalam buku terbarunya nanti, Thunberg akan membagi sejumlah pengalamannya sebagai aktivis iklim, dan banyaknya kasus terkait “greenwashing”. Aktivis remaja yang sangat popular di dunia ini menekankan bahwa orang-orang harus menyadari bagaimana kita selama ini dibodohi oleh praktik “greenwashing” sejumlah pihak, bahkan sebelum para peduli iklim bergerak, serta sebelum kita “layak untuk berharap”.
“Saat ini kita nyaris putus asa dalam berharap. Namun itu juga bukan berarti kita berpura-pura segala sesuatunya baik-baik saja,” tegas Thunberg. “Bagiku harapan bukanlah sesuatu yang diberikan pada kita, melainkan apa-apa yang harus diperjuangkan dan diciptakan. Itu tidak secara otomatis bisa kita dapatkan, berdiam diri menunggu yang lain melakukan sesuatu. Harapan adalah aksi. Ini tentang bagaimana kita keluar dari zona nyaman.”
“Jika sekumpulan siswa sekolah yang aneh bisa menjadikan orang-orang mulai mengubah cara pandang kehidupan mereka, bayangkan dampaknya jika kita semua mulai benar-benar mencoba ambil bagian (dalam aksi peduli iklim),” tutupnya.