MajalahCSR.id – Sebuah temuan studi yang dipublikasikan di Nature Reviews Endocrinology kian memperkuat dugaan hubungan buruk antara polusi minyak fosil dan tingkat kesuburan manusia. Studi ini mengungkapkan bahwa terdapat penurunan jumlah kelahiran bayi secara stabil sejak lebih dari 50 tahun lalu. Meskipun lokasi sampel studi ini berlangsung di Denmark, namun disebutkan, terdapat tren yang sama di negara lain.
Studi ini mengamati satu dari sepuluh bayi Denmark yang lahir melalui bantuan kesuburan. Inhabitat memberitakan, tak hanya itu, lebih dari 20% pria Denmark ternyata tidak mampu memiliki anak. Terungkap bahwa penurunan ini terjadi sejak era revolusi industri.
Niels Erik Skakkebæk, professor di Universitas Kopenhagen, Denmark, salah satu penggagas studi, menyatakan, tren ancaman kemanusiaan ini berlaku pada seluruh warga dunia. “Kami harus menyadari bahwa kita hanya mengetahui sedikit perihal ketidaksuburan populasi, sehingga langkah selanjutnya adalah menemukan alasan pasti mengapa banyak pasangan tak mampu memiliki anak,” ujar Skakkebæk.
Ketika riset lebih lanjut perlu dilakukan, dugaan perihal polusi bahan bakar fosil dan kontaminasi lingkungan berpengaruh pada isu kesuburan terus menguat. Misalnya, sekitar 74 ribu kasus kanker testis tiap tahun berdampak pada rerata tingkat kesuburan yang rendah.
Skakkebæk berargumen bahwa tren seperti ini tak bisa dipetakan secara genetis, atau dengan kata lain, ini merupakan proses evolusi yang membutuhkan waktu panjang. Para periset itu juga mendorong rekan ilmuwan lain untuk menelaah secara lebih dalam hubungan antara tingkat kelahiran dan polusi.
“Yang mengejutkanku dari studi ini adalah terungkapnya fakta kehidupan modern yang tak terlepas dari bahan bakar fosil,” keluh Skakkebæk. “Kami awalnya sama sekali tidak menduga hal ini. Saat kita membeli sepatu, ternyata produk ini terbuat dari sejumlah zat kimia yang diambil dari bahan bakar fosil.”
Saat riset masih terus dilakukan untuk menyingkap relasi antara minyak fosil dengan kesehatan manusia, sejumlah penelitian sebelumnya pernah pula dilakukan pada hewan. Salah satunya, sebuah riset memperlihatkan tikus berbeda (rat dan mice) memerlihatkan perubahan genetis yang mempengaruhi kesehatan reproduksi saat terpapar zat kimia berbahaya.