Kemajuan teknologi sejatinya bisa membantu banyak lembaga, termasuk perusahaan kian dekat dengan stake holder-nya. Aplikasi media sosial (medsos) yang dalam satu dasawarsa ini berkembang massif adalah contohnya. Medsos adalah cara dua pihak atau lebih saling berkomunikasi untuk tujuan tertentu. Hal mana yang juga dimanfaatkan perusahaan atau lembaga dalam menjalin komunikasi dengan Tapi media sosial dapat menjadi bencana baru bila tak dengan bijak disikapi oleh perusahaan.
Tak seperti era sebelumnya, sebuah isu perusahaan – termasuk yang negatif – dapat menyebar sangat massif dan cepat lewat bantuan aplikasi medsos. Isu yang lantas meliar ini bila tak di-manage secara hati-hati bisa menghancurkan reputasi perusahaan, lembaga, bahkan personal. Sehingga, perlu adanya metode dan prosedur komunikasi yang terbagi dalam beberapa tahapan, yaitu persiapan, antisipasi, mitigasi, bahkan simulasi. Dan tugas seorang PR untuk menghadapi dan menangani isu krisis di media sosial.
Hal ini terungkap dari acara obrolan dan diskusi para praktisi public relations (PR), Kopi Darat PR Rembuk di Cyber Building, kawasan Kuningan Jakarta, Jumat (8/11/2019). Acara yang bertemakan “Penanganan Krisis di Media Sosial” ini menghadirkan sejumlah pakar, praktisi, dan konsultan PR yang berpengalaman di bidangnya. Salah satunya adalah Konsultan PR Senior dan President Director IPM Public Relations, Maria Wongsonagoro. “Seorang PR harus pro aktif dalam menangani kasus yang timbul di media sosial,” cetus perempuan yang masih enerjik di usia 73 tahun ini.
Maria melanjutkan, perlu ada inventarisasi isu, termasuk di dalamnya siapa stakeholder yang terlibat. Dengan sikap ini, penanganan akan terpetakan sehingga pengambilan tindakan solusi jadi lebih mudah. Sementara itu, Bima Marzuki, konsultan dari Media Buffet, mengungkapkan, krisis media sosial punya durasi atau “life span” beragam. Mulai dari yang singkat sekitar 3 – 4 hari, sampai hitungan tahun dimana isu yang terangkat di medsos yang ditelitinya, berdurasi 2 tahun 4 bulan.
“Penyebabnya bisa dari salah omongan, kabar hoax, malfungsi sistem, atau gagal deteksi,”ujarBima. Adapun aktor pencetusnya cukup beragam. Mulai dari CEO perusahaan, buzzer, media, sampai publik. Dari sejumlah krisis isu yang disorotinya, ada beberapa jenis tindakan khas dari pihak yang menjadi sasaran isu. Bila menyangkut brand, perusahaan pemilik brand biasanya melakukan pembiaran isu atau juga konfimasi terhadap isu yang berkembang.
Untuk lembaga kementerian biasanya tipikal respon yang dilakukan adalah mengontrol pemberitaan, konfirmasi, hingga melakukan aksi agresif berupa upaya menyerang balik. Untuk BUMN, respon yang dilakukan dengan mengontrol pemberitaan dan atau konfirmasi isu yang berkembang. Sementara politisi biasanya cenderung lebih agresif bila dihadapkan dengan isu yang berkembang di media sosial. Ada dua sikap yang biasanya dilakukan, yaitu: serang balik atau bahkan memaipulasi isu yang ada.
Diantara semua itu, hal yang perlu ditekankan adalah pemetaan dan tak perlu panik saat isu berkembang di medsos. Tentunya bagaimana tidak panik adalah mencermati anjuran yang disarankan Maria Wongsonagoro, yaitu persiapan, antisipasi, mitigasi, dan simulasi. Sehingga apabila prosedur tersebut sudah biasa dilakukan, niscaya krisis isu di media sosial menjadi lebih mudah dan cepat dihadapi dan diatasi.