Jakarta, MajalahCSR.id – Sebagai bagian dari tanggung jawab sosial dan mewujudkan keberlanjutan perusahaan, prinsip ESG atau environment, social, dan governance kerap diterapkan dalam operasional korporasi. Namun demikian, tak sedikit dari pelaku bisnis yang berperilaku “menyimpang”, hanya mengejar keuntungan ekonomi semata, tanpa mempedulikan dampaknya baik secara eksternal maupun internal organisasi.
Untuk mengelabui kesalahan yang dilakukan, biasanya oknum perusahaan menerapkan upaya “greenwashing”. Menurut definisinya greenwashing merupakan “the act of providing the public and investor, with misleading or outright false information about the environmental impact of a company’s products and operations.” Jika diartikan, kegiatan perusahaan yang ditujukan untuk masyarakat dan investor (pemangku kepentingan), dengan memberikan informasi yang keliru mengenai dampak produk dan operasional perusahaan.
Praktik greenwashing sejatinya justru menghambat keberlanjutan perusahaan, alih-alih menguntungkan secara jangka panjang. Mengambil keuntungan ekonomi sesaat dengan menghiraukan dampak di jaman sekarang bukanlah pilihan yang tepat. Di saat segalanya menuntut tranparansi, termasuk desakkan dari peraturan pemerintah, investor, dan bahkan konsumen terhadap korporasi agar memperhatikan ekses secara sosial, ekonomi, dan lingkungan, praktik greenwashing adalah bom waktu yang mengancam kredibilitas perusahaan.
Sudah banyak contoh kasus berbagai perusahaan besar yang melakukan praktik ini. Sebut saja raksasa jaringan fast food, McDonalds, yang mengklaim pemakaian sedotan kertasnya bagian dari komitmen untuk menjaga lingkungan. Tetapi, fakta lantas mengungkap bahwa inisiatif sedotan kertas itu menimbulkan masalah baru, yaitu tak dapat didaur ulang.
Kasus lainnya menyangkut perusahaan energi Royal Dutch Shell. Perusahaan asal Belanda ini mengaku berkomitmen untuk program net zero global dengen menekan emisi karbon dan beralih ke energi non fosil demi mencegah perubahan iklim. Namun faktanya, Shell terus mencari peluang baru mengembangkan sumber minyak dan gas baru untuk produksi energi fosilnya. Sementara untuk program energi baru dan terbarukan, terungkap hanya satu persen saja dari keseluruhan rencana jangka panjang perusahaan. Hal ini berbanding terbalik dengan kampanye iklan yang menggaungkan keberpihakan mereka pada solusi permasalahan iklim.
Kemunculan istilah “greenhushing”
Praktik greenwashing belum benar-benar hilang, kini muncul istilah “greenhushing”. Apa itu greenhusing? Menurut definisinya “refers to businesses which decide not to mention or make a big deal of their sustainable initiatives in any of their messaging or packaging.” Artinya kurang lebih, pelaku bisnis yang memutuskan untuk tidak membewarakan atau menyampaikan inisiatif keberlanjutan mereka dalam bentuk pesan atau produk.
Menurut Fajar Kurniawan, Managing Partner Social Investment Indonesia, istilah ini dicetuskan oleh para akademisi di sekitar tahun 2008. Hal ini merujuk pada banyaknya perusahaan yang memilih untuk memilih diam daripada menyuarakan strategi iklim mereka. Perilaku ini disebabkan mereka khawatir dinilai telah melakukan greenwashing, atau melakukan upaya keberlanjutan namun tidak menemui standar yang seharusnya sehingga takut dipermalukan.
Greenhushing menggambarkan kondisi perusahaan yang tidak melaporkan praktik keberlanjutan mereka kepada konsumen dan pemangku kepentingannya. Meski demikian, mereka sebenarnya memiliki strategi, kebijakan, dan program keberlanjutan seperti Corporate Social Rsponsibility, dan ESG.
Fajar mengungkapkan, pengawasan yang meningkat dari media, lembaga swadaya masyarakat, publik, otoritas konsumen, dan pasar mendorong perusahaan utuk lebih berhati-hati dalam mengomunikasikan target keberlanjutannya. Hal ini ditandai dengan makin meningkatnya tren strategi greenhushing.
Menurut laporan South Pole (2022), Net Zero and Beyond, beberapa perusahaan termasuk sektor teknologi, keuangan, dan teknik, memilih untuk tidak mengungkapkan dan menarik perhatian atas pencapaian tonggak pencapaiannya dalam aksi iklim. Ditemukan bahwa hampir seperempat (23%) dari 1.200 perusahaan global dari 12 negara yang disurvei telah menetapkan target net-zero, tetapi telah memutuskan untuk tidak mempublikasikan kemajuan pencapaian perusahaan.
Baik greenwashing maupun greenhushing, menurut Fajar, bukan pilihan strategi yang tepat untuk menyampaikan komitmen progam pencapaian, pengembangan nilai dan inisiatif sustainable strategy perusahaan, termasuk di dalamnya ESG. Bila greenwashing jelas-jelas merugikan baik terhadap dampak eksternal, juga internal karena sifatnya manipulatif dan tidka dapar dibuktikan.
Sementara, untuk greenhushing juga bukan pilihan. Dengannya, pemangku kepentingan tidak akan mengetahui sejauh mana pengembangan komitmen perusahaan. Selain itu juga, tegas Fajar, menghilangkan kesempatan publik untuk mendapatkan lesson learnt, dan memberikan masukan berharga kepada perusahaan.
Bagaimana sebaiknya strategi komunikasi perusahaan terkait keberlanjutan?
Fajar menjelaskan, strategi perusahaan yang tepat, dapat meningkatkan trust kepada perusahaan. Menurutnya perusahaan harus lebih jeli menentukan aspek apa saja yang perlu diungkapkan (selective disclosure) dengan mempertimbangkan materialitas isu keberlanjutan amupun ESG. Pemilihan atas aspek apa saja yang perlu diungkapkan, akan dapat meningkatkan trust dan integritas perusahaan di mata pemangku kepentingan, dan sebaliknya.
Lalu bagaimana strategi komunikasi ESG yang juga tepat? Fajar menerangkan ada 4 hal yang harus dicermati oleh perusahaan. Pertama, selalu menghubungkan tujuan perusahaan dengan SDGs atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Kedua, tetapkan sasaran ESG yang tepat, terukur, dan terikat oleh waktu. Artinya, kita bisa membiarkan pemangku kepentingan dan public melihat bahwa perusahaan menutup celah antara tujuan iklim jangka panjang, dan rencana aksi jangka pendek.
Ketiga, hitung dampak target ESG perusahaan. Merealisasikannya dengan menghitung dampak target terkait dengan produk dan industri korporasi. Hal ini akan membantu pemangku kepentingan dan khalayak lain memahami pentingnya ekses pada lingkungan dari target ini. Terakhir atau keempat, pungkas Fajar, berikan verifikasi pihak ketiga. Perusahaan bisa mempertanyakan pada diri sendiri, apakah komitmennya didukung oleh verifikasi pihak ketiga dan informasinya disebarluaskan oleh media terpercaya.