MajalahCSR.id – Naiknya kesadaran dan upaya perusahaan untuk melaporkan kinerja keberlanjutan yang berkualitas, tak luput dari hasil kerja sama internal organisasi yang solid. Berbicara internal perusahaan tentunya tak bisa terpisahkan dari sosok pemimpin atau CEO sebagai pengambil keputusan operasional organisasi. Bagaimana pun CEO berperan penting dalam mendukung transformasi keberlanjutan dalam perusahaan. Lantas bagaimana CEO melihat urgensi dari aspek keberlanjutan perusahaannya di tengah pandemi saat ini?
Untuk menjawab hal ini, Deloitte, lembaga profesional internasional yang berbasis di London, Inggris, dan GRI menggelar survey kepada 138 CEO perusahaan di Indonesia selama 2 bulan, mulai September 2021 hingga Oktober 2021 lalu. Survey yang dilakukan terkait peran CEO dalam ESG (environmental, social, governance) dan sustainability atau “Survey on the Role of CEOs in Advancing Sustainability and ESG”. Claudia Law Lie Hoeng, Country Leader, Deloitte Indonesia mengungkapkan, sebanyak 84% CEO meyakini bahwa sustainability dan ESG merupakan isu yang sangat penting untuk dibahas selama pandemi COVI-19.
“Topik dan agenda sustainability dan ESG yang dibahas dalam agenda ‘board’ saat ini dan tiga tahun ke depan, akan terkait dengan kesehatan, keselamatan kerja, sustainability reporting, dan penurunan emisi,” ungkap Claudia. Pendorong utama diskusi ESG dan sustainability dalam agenda “board”, lanjut Claudia, adalah berhubungan dengan regulasi yang persentasenya lebih kurang 74%.
Hal ini, menurutnya, sejalan dengan peraturan pemerintah lewat POJK 51 tahun 2017 terkait penerbitan laporan keberlanjutan dan komitmen Indonesia terkait aksi iklim. Selain peraturan tersebut, pemerintah juga memperkenalkan pajak karbon dalam undang-undang harmonisasi peraturan perpajakan yang mulai diimplementasikan pada April tahun ini.
Gambaran survei
Dua perwakilan dari Deloitte, Alstair Bharata, Director and Strategic & Reputation Risk Leader, dan Efrain Sitinjak, Manager Strategic and Reputation Risk, secara bergantian memaparkan lebih jauh soal survei yang dilakukan. Survei ini merupakan gambaran dari inisiatif prioritas terkait pelaksanaan aspek keberlanjutan selama periode pandemi dan beberapa waktu yang akan datang. Survey yang menyasar 138 CEO perusahaan di Indonesia yang terdiri dari 93% di antaranya adalah perusahaan beromset di atas Rp 250 miliar, serta 7% sisanya memiliki aset Rp 50 – 250 miliar.
Entitas demografi lainnya, yaitu 53% perusahaan berkepemilikkan lokal, lalu 42% perusahaan multinasional, dan 5 persen sisanya perusahaan negara. Sementara sektor yang disurvei yang terbanyak adalah dari industri finansial (25%), diikuti consumer cyclicals atau yang berpengaruh langsung pada perubahan ekonomi (18%), perusahaan material dasar (13%), consumer non cyclicals (13%), Industrial (8%), Energi (6%), teknologi (5%), property dan real estate (4%), transportasi (4%), infrastruktur (3%), dan kesehatan (1%).
Mengenai isu keberlanjutan atau ESG dan sustainability di tengah pandemi, sebanyak 84% CEO sepakat bahwa isu ini sangat penting. Jumlah ini dibeberkan kembali yaitu 62% merasa makin penting dengan memasukkannya ke dalam agenda pertemuan dengan direksi atau “board”, 22% merasakan hal sama tetapi belum mengagendakannya dalam rapat direksi, lalu 16% menyebutkan belum penting mengingat perusahaannya terimbas penuh dengan pandemi COVID-19, dan 1% mengaku tidak tahu soal keberlanjutan.
Lalu apa yang mendorong isu keberlanjutan ini menjadi penting sehingga dimasukkan ke dalam agenda pembahasan direksi? Responden menjawab 74% karena adanya regulasi, 40% adalah inisiatif dari CEO sendiri, 24% atas desakkan investor, 27% aspirasi pemilik, 27% dari tren dan permintaan konsumen, 25% hasil dari asesmen terhadap risiko bisnis, dan 18% adalah asesmen dari rating ESG.
Bagaimana perusahaan menerapkan aspek keberlanjutan ke dalam tata kelola organisasi? Dari total 138 responden, 62% menjawab tugas dan fungsi keberlanjutan diserahkan pada tim yang sudah ada. Sementara 46% responden menyatakan menunjuk anggota dewan direksi untuk memimpin inisiatif keberlanjutan. Angka lain yang muncul adalah 42% responden mengintegrasikan keberlanjutan dan ESG ke dalam KPI di dalam level manajemen.
Selain itu, 39% responden memilih membentuk komite khusus untuk mengawasi isu keberlanjutan dan ESG. Terakhir, terdapat 25% responden yang lebih berkenan menunjuk seseorang yang berdedikasi seperti penangggungjawab keberlanjutan (Chief of Sustainability) di level eksekutif terhadap isu keberlanjutan dan ESG.
Terkait elaborasi isu keberlanjutan dan ESG pada agenda utama para direksi, topik kesehatan, keselamatan karyawan dan lingkungan adalah yang terpenting dibahas saat ini (57%) dan menjadi topik pembahasan hingga 3 tahun mendatang (62%). “Hal ini sangat dipahami karena tekanan pandemi, sehingga perusahaan selalu berusaha menjaga kesehatan dan keselamatan karyawan,” cetus Efraim.
Posisi kedua adalah laporan keberlanjutan atau sustainability report sebagai isu utama di mata CEO saat ini (56%) dan 3 tahun ke depan mendapat prioritas lebih dari para CEO (67%). Hal ini berkaitan bagaimana para investor semakin menuntut transparansi informasi dari perusahaan. Dilanjutkan posisi ketiga adalah pengurangan emisi yang jadi bahasan saat ini di mata CEO (30%) dan menjadi pembahasan dalam 3 tahun berikutnya (39%). Rantai pasok berkelanjutan ada di peringkat keempat terpenting bagi CEO saat ini (28%) dan dan tiga tahun berikutnya (33%).
Seterusnya ada pembaruan energi dan konservasi energi menempati isu keempat terpenting (26%) dan dubahas dalam 3 tahun ke depan (31%). Terakhir peringkat ESG atau ESG rating menjadi isu penting terakhir menurut para responden CEO untuk saat ini (21%) dan untuk 3 tahun berikutnya (30%).
Menariknya mayoritas CEO (95%) mengaku tertarik untuk mempelajari sustainability dan ESG. Sementara saat ditanya pengetahuan dan kecakapan apa yang dibutuhkan terkait hal ini, 88% menjawab kemampuan untuk mengintegrasikan keberlanjutan dan ESG di internal perusahaan dalam jangka panjang. Selain itu, 69% ingin memahami risiko dan peluang dari keberlanjutan. Lalu 61% di antaranya ingin mendapatkan kemampuan yang bisa menyelaraskan keberlanjutan ke dalam tata kelola perusahaan.
Menyinggung perihal kebijakan perusahaan apa ke depannya terkait aksi iklim yang akan dilakukan, sebanyak 47% CEO mengatakan menggunakan energi terbarukan di level operasional. Mengembangkan target penurunan emisi dipilih oleh 46% responden. Setelah itu mengembangkan bisnis pada proyek atau produk berkarbon rendah di posisi berikutnya, sebanyak 37%. Kemudian mengintegrasikan aspek perubahan iklim ke dalam manajemen risiko disebut 25% responden. Terakhir, mengukur dan melaporkan emisi gas rumah kaca mendapat dukungan responden 22%.
Seluruh pemaparan hasil survei ini disampaikan pada seminar dan diskusi CEO Survey 2021 : Survey on the Roll of CEOs in Advancing Sustainability & ESG, yang diinisiasi oleh lembaga konsultan internasional Delloite yang bekerja sama dengan Global Reporting Initiative (GRI) dan didukung oleh IDX, Australian Aid, serta Asosiasi Emiten Indonesia, pada Rabu (23/2/2022) lalu.