MajalahCSR.id – Perkembangan upaya keberlanjutan di kawasan ASEAN terus digaungkan. Hal ini terutama menyangkut kepastian kawasan untuk turut serta mendukung dan mengaplikasikan rencana dan penanganan keberlanjutan mereka dalam mencegah dampak buruk dari perubahan iklim.
Global Reporting Initiative ASEAN, pada Kamis (21/10/2021) lalu, menggelar webinar “The GRI-SM ASEAN Sustainability E-Summit”, yang bertujuan untuk membawa negara-negara kawasan ASEAN menjadi komunitas keberlanjutan yang kian aktif demi mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs) seperti yang dicanangkan Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Pimpinan GRI, Eric Hespenheide dalam sambutannya menyampaikan, krisis yang terjadi saat ini terutama akibat kemunculan pandemi COVID-19, mendorong banyak perusahaan mengerahkan kemampuan dan kapitalisasi mereka, tak hanya dari sisi stakeholder-nya (karyawan, dan rantai pasok) melainkan juga dari komunitas demi mendukung pemerintah masing-masing untuk melewati masa sulit.
“Melalui acara webinar ini, GRI mencoba untuk membantu sektor swasta melangkah ke depan memulihkan kawasan secara berkelanjutan dalam mencapai Sustainable Development Goals,” cetus Eric.
Sejumlah pembicara muda yang bergerak di sektor publik dan swasta dari negara kawasan ASEAN memberikan pandangan dan pengalaman mereka soal bagaimana mengembangkan komunitas keberlanjutannya di wilayah masing-masing. Mereka mendorong upaya keberlanjutan tersebut melalui praktik bisnis sesuai bidang bisnis yang mereka geluti.
Webinar dibagi menjadi 4 sesi selama 2 hari, mulai Kamis (21/10/2021) hingga Jumat (22/10/2021) dengan fokus tema yang berbeda. Pada sesi pertama, tema yang dibahas adalah “Next Generation Leadership : The Driving Force of Sustainability”, di mana menghadirkan 4 pembicara, yaitu Cherrie Atilano, Pendiri dan CEO Agrea Agricultural System International dari Filipina, yang mengedepankan konsep zero hunger, zero waste, dan zero inefficiency dalam bisnisnya.
Selain itu ada perwakilan dari Thailand yaitu Somsak Boonkam, pendiri dan CEO, Local Alike, bisnis turisme dengan kearifan lokal di mana wisata turisme bisa sejalan dengan aspek keberlanjutan. Upayanya mulai dari pelestarian lingkungan dan budaya lokal melalui bisnis wisata yang dijalankan.
Hadir pula perwakilan dari sektor finansial, yaitu Mariana Beatriz Zobel De Ayala, Direktur Utama Bank of The Philippine Islands. Sementara Indonesia diwakili oleh Emmeline Hambali, Direktur Utama Dynapack Asia yang juga bergerak dalam konsep ekonomi sirkular. Nama terakhir yang hadir sebagai panelis di sesi pertama adalah Mara SY Coson, Group Sustainability Adviser, SM Investment, dan juga Direktur Utama Marketing dan Strategi Digital SM Retail, perusahaan yang berbasis di Filipina.
Tentang keberlanjutan di mata pebisnis muda
Ada hal menarik ketika masing-masing panelis ditanya perihal bagaimana mereka melihat aspek keberlanjutan dari sisi mereka masing-masing.
Menurut Somsak, terdapat perbedaan jenis keberlanjutan di pelosok wisata Thailand. “Setiap warga perkampungan yang berbeda memiliki pengertian yang berbeda pula terhadap keberlanjutan. Di satu wilayah keberlanjutan diartikan sebagai upaya kerja keras agar mereka tetap hidup tanpa tergantung pada orang lain. Selama sepuluh tahun saya berkecimpung dalam bisnis, setiap orang punya definisi masing-masing soal isu ’sustainability’ dan saya harus menghormati hal itu,” ucap Somsak.
Sementara itu Emmeline mengungkapkan, kepemimpinan adalah kesempatan untuk memberikan arah bagi dirinya sekaligus membuka peluang untuk menjadi pendukung utama pada perubahan. “Tanpa kedua hal tersebut, bagi kami yang bergerak di bidang pengemasan dan plastik akan sangat sulit untuk mengimplementasikan kebijakan,” ucap Emmeline. Menjadi pendukung (perubahan), cetus Emmeline, memberi akses untuk memberikan dampak pada masyarakat dan lingkungan.
“Keberlanjutan tidak hanya menyangkut kemasan, plastik, transportasi, melainkan juga gaya hidup sehingga benar-benar hasilnya akan terasa pada bumi,” jelas wanita lulusan Boston College ini.
Di sisi lain, Cherie Atilano mengungkapkan, jika keberlanjutan merupakan konsep kesejahteraan antar generasi. “Terutama yang menyangkut sektor pertanian, bagaimana kami berupaya mencari cara untuk mencukupi kebutuhan pangan saat ini dan generasi masa mendatang.”
Sektor finansial juga memiliki peran penting terhadap keberlanjutan. Mariana Zobel mengungkapkan, keberlanjutan merupakan pola pikir dan bahkan pengertiannya lebih dari sekedar menyangkut perusahaan, pemangku kepentingan, bahkan definisinya sendiri. “Tanggung jawab (terhadap keberlanjutan) sangat meluas, mulai dari konsumen, supplier, partner, masyarakat, lingkungan yang lebih luas,” papar wanita berkaca mata ini.
Di mata Mara Cosson keberlanjutan merupakan skill atau kemampuan. “Bagaimana kita bersinergi bisa merealisasikan pilar-pilar keberlanjutan, bagaimana memberikan dampak positif dalam waktu yang terus menerus,” sebutnya. Keberlanjutan lanjutnya adalah masa depan, termasuk bagi perusahaannya.
Bagaimana penerapan konsep keberlanjutan di bisnis masing-masing?
“Proyek terbaru kami adalah mengelola limbah plastik bagaimana kami mengelola kemasan pasca konsumsi. Kami juga memiliki isu soal pengumpulan limbah plastik yang dirasa tidak mudah termasuk teknologinya yang demikian kompleks,” ungkap Emmeline.
Bekerja sama dengan Coca Cola Europacific Partners, Dynapack lanjut Emmeline, membangun pabrik pengolahan daur ulang limbah plastik di Indonesia. “Pabrik ini akan menjadi bagian dari bisnis pada April 2022, dan ini merupakan salah satu proyek besar kami (dalam soal bisnis berkelanjutan),” katanya. Perusahaannya juga terus mengampanyekan prinsip keberlanjutan terkait kemasan yaitu, reduce, reuse, recycle, dan replace terkait kemasan.
“Beruntungnya kami memiliki pemilik saham yang sangat mendukung upaya kami tersebut. Bekerja sama dengan Coca Cola merupakan perjalanan yang menyenangkan karena mencoba menyelesaikan permasalahan dengan solusi bersama termasuk terus mengampanyekan mengelola limbah pada masyarakat dengan memberikan fasilitas lokasi dan wadah pembuangan limbah plastik,” imbuhnya.
Untuk bidang pertanian, Cherrie punya cara dalam mengaplikasikan sustainability di sektor agribisnis. “Kami sudah menerapkan konsep ESG (Environmental, Social, Governance) dalam rantai pasok. Keberlanjutan adalah soal mengubah definisi dan persepsi, bahwa pertanian tak melulu sekedar produksi, melainkan bagaimana makanan bisa sampai di atas meja makan konsumen.”
Wanita muda asal Filipina ini menceritakan, perusahaannya memulai dengan menerapkan praktik pertanian regeneratif di mana bercocok tanam bukan meletakkan sesuatu di atas tanah atau air semata, dengan memanfaatkan energi surya. “Di perusahaan, kami menggunakan tenaga matahari untuk menghidupkan pompa air untuk mengairi pertanian.”
Selain itu, studi teknologi benih terus dilakukan pihaknya untuk menghadapi ancaman gagal panen akibat bencana alam, gangguan hama, dan tahan perubahan iklim termasuk cara pertanian tumpang sari modern. Sementara dalam soal limbah pangan dari panen petani yang tidak terpakai atau gagal, pihaknya juga mengembangkan teknologi kompos di Filipina. “Terakhir, kami mengembangkan pertanian yang mengacu pada entrepreneurship, sehingga pertanian sebagai bisnis yang bertata kelola baik, berkembang dengan semestinya sehingga tak lagi berkonotasi profesi marjinal.”
Bagi Somsak, hal pertama yang dia lakukan terkait keberlanjutan di bisnis wisatanya adalah bekerja sama dengan destinasi perkampungan tertentu. “Kami mengembangkan warga kampung untuk bisa mengelola wisata daerahnya secara mandiri. Setelah itu kami mengajak bekerja sama untuk menjual produk jasa dan barang mereka ke market place yang kami miliki,” kata Somsak.
Local Alike yang dipimpinnya juga memberikan pelatihan manajemen teknologi sederhana pada warga untuk lebih bisa memperluas jangkauan mereka pada wisatawan potensial. Untuk kesejahteraan warga, Somsak melalui perusahaannya menyisihkan keuntungan hingga 10 persen dan juga membangun tata kelola dana sehingga dengannya warga bisa membangun infrastruktur penunjang wisata di wilayahnya secara mandiri.
Tak seperti perusahaan baru, perusahaan antar generasi perlu upaya baru untuk mengenalkan keberlanjutan yang sama sekali belum terpikir oleh generasi sebelum. Inilah yang dihadapi Mara melalui perusahaan konglomerasi asal Filipina, SM Group. Menurut Mara, anak perusahaannya yang bergerak di department store, sudah punya kebijakan terkait hal ini. “Sebagai contoh di bagian kain linen, kami hanya menerima kain linen yang berkualitas yang lebih hijau dan bebas plastik,” cetusnya.
Menurut Mara, penyuplai kain linen di wilayahnya adalah pabrik-pabrik kecil yang menyebabkan kualitas kainnya tak merata. “Kami mendorong dan membantu mereka untuk memilki sertifikasi produk, sehingga kualitasnya terstandardisasi lalu produknya dipromosikan di toko sebagai kain ramah lingkungan.” Mara bersyukur bahwa keluarganya mendukung seluruh upayanya terkait kampanye keberlanjutan.
Hal yang cukup berbeda disampaikan Mariana terkait sustainability di perusahaan perbankan yang dipimpinnya. “Kami mengedepankan digitalisasi dalam perbankan kami. Sehingga dengannya nasabah kami menjadi lebih leluasa, mudah (dan efisien) dalam mengelola finansial mereka,” jelas Mariana.