Jakarta, MajalahCSR.id – Polusi yang terjadi di planet ini selalu mengindikasi pada lima ranah: udara, tanah, air, suara, dan cahaya. Sampai di sini, tiga yang disebut awal, mengalami kondisi yang paling parah. Pada 2021, polusi udara menyumbang pada 8,7 juta kasus kematian di seluruh dunia. Sementara, 400 juta metrik ton limbah mencemari tanah di dunia setiap tahun.
Mempelajari perihal industri yang berkontribusi pada polusi dan emisi gas rumah kaca, maka kita bisa mencari solusi yang tepat untuk mengurangi dampak buruknya pada lingkungan. Mengutip Inhabitat dari The Eco Expert, berikut ini daftar 7 sektor industri yang disebut paling berdampak buruk pada lingkungan, dimulai dari yang paling rendah hingga tertinggi kontribusi kadar polutan emisinya.
7 – Teknologi
Setiap tahun, industry teknologi adalah pencetus 1,1 miliar ton emisi gas rumah kaca. Lantas apa hubungannya? Teknologi di saat ini nyaris ada di segala aspek kehidupan, termasuk peralatan listrik dan hiburan. Pada 2025 mendatang industri ini diperkirakan mengonsumsi 20% energi di dunia, dan menjadi 5,5% penghasil emisi karbon dioksida.
Mata uang digital, juga bagian dari teknologi industri. Untuk menambang mata uang kripto atau yang dikenal cryptocurrency, butuh energi listrik yang besar. Ironisnya, lebih banyak pembangkit listrik di dunia ini yang digerakkan oleh bahan bakr fosil, yang melepas lebih dari 142 juta ton karbon per tahun.
Meski begitu, mulai banyak juga produsen teknologi yang mengurangi dampak buruk pada lingkungan dengan mengembangkan piranti hemat energi. Di sisi lain, sebagai konsumen, semua dapat memperbaiki masa depan bumi yang lebih baik melalui pilihan kita sendiri. Ini dapat dilakukan misalnya dengan membeli produk dari perusahaan yang sudah berstandar emisi netral. Cara atau strategi lainnya adalah mencari opsi lain, seperti mendaur ulang piranti lama, yang juga bisa melindungi lahan dari limbah dan polusi ekosistem.
6 – Fesyen
Pada konteks global, industri fesyen bertanggung jawab pada 2,3 miliar ton emisi gas rumah kaca setiap tahun. Jumlah ini setara dengan emisi gabungan dari tiga negara yaitu Jerman, Perancis, dan Inggris. Untuk menekan biaya produksi seperti upah buruh murah dan bahan baku, industri ”fast fashion” mendirikan pabriknya di Asia dan Afrika. Secara umum, pabrik-pabrik itu digerakkan oleh sumber energi tak terbarukan, seperti batubara atau gas.
Produksi tekstil biasanya memakai material murah yang penggunaan air di proses produksinya sangat rakus. Alhasil, pada praktiknya diprediksikan lebih dari 3 triliun kubik kaki air habis disedot oleh industri fesyen. Bahkan, pabrik busana yang bermaterial alami pun konsumsi airnya hamper setara dengan material sintetis. Lihat saja, satu kaos katun butuh 792 galon air pada proses produksinya. Ini akanmemberi tekanan pada ekosistem lokal yang menimbulkan bahaya kekeringan. Contoh lain, tekstil sintentis seperti polyester dapat mengontaminasi air oleh paparan mikroplastik.
Pengiriman dan limbah dari industry ini juga punya konseskuensi buruk. Secara keseluruhan, proses pengiriman menyumbang 2,5% dari total emisi global! Mengaitkannya dengan pertumbuhan global, maka volume produk fesyen pun disebut meningkat 17% pada 2050. Semua itu berdampak pada limbah yang 85% di antaranya berasal dari industri “fast fashion” setiap tahun.
Selain dampak lingkungan, sudah bukan rahasia lagi jika industri ini juga terkait dengan masalah sosial ekonomi. Industri kerap mengeksploitasi komunitas marjinal dengan upah rendah dan kondisi kerja yang buruk. Dengan membeli barang “thrifting” atau tangan kedua dari toko atau acara khusus merupakan cara terbaik untuk menghemat uang sekaligus meminimalisasi limbah pakaian. Memilih untuk membeli produk awet dan berkelanjutan juga adalah cara baik lainnya terkait hal ini.
-bersambung