Sudah puluhan tahun konsumen Indonesia memanfaatkan plastik sebagai kemasan berbagai kebutuhan. Menurut catatan Asosiasi Olefin, Aromatik, dan Plastik (Inaplas), meskipun Indonesia terancam keberadaan sampah plastik, namun konsumsi plastik Indonesia masih jauh lebih rendah dibandingkan konsumsi plastik di negara lain. Tercatat dari data Inaplas pada 2017, total konsumsi plastik Indonesia secara total adalah 5,76 juta ton per tahun dengan rata-rata konsumsi per kapita sebesar 19,8 kg/kapita.

Sementara negara yang tergolong maju, seperti jumlah konsumsi plastik per kapita di Korea Selatan sebesar 141 kg, Jerman 95,8 kg, Jepang 69,2 kg. Bahkan dibanding Vietnam yang konsumsi plastik per kapitanya 42,1 kg, konsumsi plastik per kapita Indonesia masih kalah. Namun kenyataan yang terjadi, sumber masalah dari plastik adalah pasca konsumsi. Hal ini terkait pengelolaan sampah plastik yang belum maksimal, sementara produsen pengemas fast moving consumer good (FMCG), berupaya membantu mengurangi dampak sampah plastik.

Hal ini terungkap dari bincang Packaging and Recycling Association for Indonesia Sustainable Environment (PRAISE) di sela penyelenggaraan Indonesia Circular Economy Forum 2019, Senin (11/11/2019) di Pullman Hotel, Jakarta. PRAISE beranggotan perusahaan FMCG besar di Indonesia, yaitu Coca Cola, Aqua Danone, Nestlé, Indofood, Tetra Pack, dan Unilever.
“Tantangan waste management (kemasan plastik) di Indonesia adalah collection,”ujar Karyanto Wibowo, Director of Sustainable Development, Danone Indonesia. Menurut Karyanto, hal ini disebabkan Indonesia sudah memiliki teknologi untuk mengolah sampah kemasan plastik yang terkumpul.
“Kami bisa menggunakan (teknologi) closed loop untuk menghasilkan barang baru dari sampah plastik yang terkumpul. Contohnya dari (sampah) botol (plastik) menjadi botol lagi,” papar Karyanto. Sementara untuk yang teknologi opened loop, botol kemasan bisa iubah ke barang lainya semisal bahan benang, komponen elektronik, dan lainnya. Karyanto menegaskan, Aqua Danone mendukung pemerintah untuk membuat infrastruktur collection. Bahkan menurutnya, di tahun 2025 nanti pihaknya akan lebih banyak mengumpulkan dan memanfaatkan plastik bekas sebagai bahanbaku produk baru.

Reza Andreanto, Head of Environment, produsen kemasan Tetra Pak, punya metode lain dalam upaya mengurangi sampah plastik. Reza mengungkapkan pihaknya mulai memanfaatkan bahan kemasan yang based on plant, atau berbahan tanaman sebagai pengganti campuran plastik polymer dalam kemasan yang diproduksi. Dengan begitu, bahan yang dilakukan selalu renewable material. “Circular Economy possible untuk dilakukan di Indonesia,”pungkas Reza.
Selain itu, Tetra Pak juga melakukan kampanye edukasi langsung ke masyarakat, dengan membuat jalur pengumpulan sampah kemasan secara mandiri. Untuk ini, Tetra Pak bermitra dengan sejumlah pihak, salah satunya waste4change. Selanjutnya, “Kami berinvestasi dengan 2 mitra untuk mendirikan pabrik daur ulang khusus kemasan karton minuman,” ungkap Reza. Pabrik itu mampu menghasilkan recycling rate tahun 2018 sampai 21,2 %. Karton kemasan didaur ulang menjadi kertas daur ulang, sementara bahan polymer dan alumunium menjadi campuran atap genting dan juga meja, kursi serta papan partisi.
Maya Tamini, Head of Environment, Unilever Indonesia, berupaya mengurangi kandungan plastik dalam kemasan produk Unilever. Kemasan produk seperti sabun cuci dan sabun mandi sudah mengadopsi desain baru yang kandungan plastiknya jauh lebih rendah. Selain itu juga ada kemasan yang menngunakan bahan daur ulang, seperti produk kecap. “Plastik adalah material yang bagus asal pemanfaatannya bertanggung jawab,” tegas Maya menggarisbawahi.
Hal senada dikatakan Triyono Prijosoesilo, Public Affairs and Communication Director, Coca Cola Indonesia. Bahkan tempat duduk para pembicara di acara bincang PRAISE tersebut, hasil kreasi desain khusus yang terbuat dari sampah botol plastik. “Untuk satu kursi yang dibuat berasal dari 111 botol plastik yang dilebur jadi bahan produk baru,” cetus Triyono.

Kursi plastik tersebut ternyata bukan produk biasa saja, karena hasil kerjasama pihak Coca Cola dengan desainer terkenal di Amerika, Emeco. “Karena hasil kerjasama dengan desainer, maka produknya menjadi value item, dan bang koleksi, karena harganya pun mahal,” tambahnya. Pada tahun 2030 Coca Cola menargetkan me-recycle produk apapun yang dilempar ke market. Coca Cola berupaya untuk menjadi pihak yang solutif terhadap permasalahan sampah plastik.
“Untuk menjadikan botol kembali bisa didaur ulang, ada 3 elemen atau pilar yang harus terpenuhi,” lanjut Triyono. Ketiga hal itu adalah design, collect, dan pusat daur ulang atau recycle. Untuk soal design atau desain, bagaimana pihaknya berupaya membuat botol minuman yang lebih mudah dikumpulkan dan lebih mudah didaur ulang. Pemakaian plastik yang lebih efisien dan lebih ringan adalah contohnya.
Agar mudah dikumpulkan pasca konsumsi, botol plastik yang digunakan berwarna bening atau tidak berwarna. Hal ini karena pengumpul sampah lebih menyenangi botol bening dibandingkan berwarna. Yang juga tak kalah penting dalah partnership atau kemitraan. Karena perusahaan akan lebih sulit untuk melakukannya sendiri (dalam mengurang sampah).
Sebagai pemain besar di industri FMCG, Indofood pun tak mau kalah. Indrayana, Head of Corporate Communication, Indofood menuturkan, pihaknya turut aktif mensolusikan sirkular ekonomi berbasis sampah plastik. “Kami juga bekerjasama dengan mitra, seperti warmindo (warung makan indomie) untuk mengumpulkan sampah plastik,” ungkap Indra. Bungkus plastik indomie, pada dasarnya bisa didaur ulang, kata Indra. Meskipun diakuinya mengumpulkannya tidak mudah.

Pada diskusi tersebut juga ada hadir Ratih Kusumastuti, Vice President Corporate Affairs, Nestle Indonesia. Sebagai perusahaan yang produknya banyak memakai kemasan plastik, Nestle tetap mengacu pada desain kemasan yang aman bagi lingkungan. “Mengembangkan dan mendorong inovasi alternatif untuk kemasan, pengurangan sampah, dan perubahan perilaku,” papar Ratih. Perubahan perilaku ini tidak hanya ditujukan untuk konsumen saja, tapi juga internal perusahaan.
Aksi yang dilakukan oleh perusahaan yanb tergabung dalam PRAISE tentunya sangat diapresiasi. Dan hal tersebut adalah bukti tanggung jawab mereka sebagai produsen produk terhadap isu lingkungan bahkan sosial ekonomi. Untuk kemashlahatan lingkungan tentu saja dengan berinovasi terhadap kemasan produk. Sementara isu sosial dengan mengkampanyekan edukasi bahaya sampah plastik. Terakhir, secara nilai ekonomi adalah bekerjasama dengan semua pihak, terutama di rantai sirkular ekonomi untuk saling mendukung satu sama lain.