MajalahCSR.id – Indonesia ingin segera mengubah status Pandemi COVID-19 menjadi Endemi. Kabar terakhir, Bali mengklaim memenuhi lima syarat menjadi endemi menurut WHO (World Health Organization). Juru Bicara Satgas Covid-19 Wiku Adisasmito pada Senin (13/6/2022) kemarin menyatakan, Bali dan mayoritas provinsi di Indonesia masih menunjukkan tren pelandaian.
WHO mensyaratkan, transisi menuju endemi bisa terjadi apabila indikator-indikator ini terpenuhi: Pertama, tingkat penularan di masyarakat harus kurang dari 1. Kedua, angka positivity rate harus kurang dari 5 persen, tingkat perawatan di rumah sakit di bawah 5 persen, fatality rate kurang dari 3 persen, dan level pembatasan mobilitas (PPKM) pada transmisi lokal berada di tingkat 1. Bali mengklaim, sudah memenuhi dari lima syarat itu.
Pemerintah juga menindaklanjuti kemajuan ini dengan menyusun peta jalan perubahan penanganan COVID-19 menjadi pengendalian. Tujuannya untuk segera melakukan transisi dari status pandemi menjadi endemi COVID-19. Bahkan, harapannya status endemi ini akan menjadi kado di Hari Kemerdekaan nanti.
Selain itu, perubahan status juga harus sesuai dengan persetujuan Badan Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO). Sebelumnya, Sekretaris Jenderal WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesus, mengatakan fase COVID-19 bisa selesai dan menuju endemi bisa terjadi pada pertengahan 2022, asal dua syaratnya terpenuhi. Pertama, tingkat vaksinasi di beberapa negara sudah sangat tinggi dan harus lebih didistribusikan secara merata. Kedua, keparahan gejala Covid-19 yang dibawa varian Omicron tidak seberat varian-varian sebelumnya.
Di Indonesia, tingkat vaksinasi masih belum merata, terutama pada kelompok rentan dan masyarakat adat yang belum terjangkau vaksinasi. Bila distribusi vaksinasi belum merata, maka situasi endemic kemungkinan akan banyak terjadi di kelompok-kelompok rentan juga masyarakat adat.
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Akses Vaksinasi bagi Masyarakat Adat dan Kelompok Rentan mendorong pemerintah menuntaskan vaksinasi untuk semua kalangan. Pemerintah juga perlu mempertimbangkan ketercakupan vaksin pada masyarakat adat kelompok rentan dalam memutuskan perubahan status pandemi COVID-19 menjadi endemi.
Menurut Koordinator Koalisi, Hamid Abidin, cakupan vaksinasi pada kelompok rentan dan masyarakat adat penting dipertimbangkan oleh pemerintah. Sebab, kondisi di kedua kelompok ini bisa menjadi ukuran seberapa merata penanganan COVID-19. “Masyarakat adat tinggal di wilayah terpencil, kalangan disabilitas umumnya minim akses kesehatan. Kondisi dua kelompok ini patut dipertimbangkan pengambil kebijakan,” ujar Hamid, yang juga menjabat Badan Pengurus Filantropi Indonesia.
Sementara itu, Annas Radin Syarif, Ketua Tanggap Darurat Aliansi Masyarakat Adat Nasional (AMAN) mengatakan pemerataan akses kesehatan, termasuk vaksinasi, begitu penting mengingat Indonesia adalah negara kepulauan dan terdiri dari suku bangsa yang majemuk. Annas mendorong adanya pemerataan distribusi dan pelaksanaan vaksinasi yang inklusif di kalangan masyarakat adat sebelum mengubah status menjadi endemi. Annas mengkhawatirkan, jumlah cakupan vaksinasi nasional ini banyak terkonsentrasikan di wilayah pusat kota/kabupaten. “Pemerintah kini perlu lebih fokus menggalakkan vaksinasi di kalangan petani, nelayan, atau masyarakat adat,” ujarnya.
Berdasar data vaksinasi Kementerian Kesehatan per 13 Juni 2022 secara nasional, untuk vaksin dosis I, sudah 96,45 persen dari 208,26 juta target atau sekitar 200,8 juta orang. Sedangkan dosis II vaksinasi mencapai 80,72 persen atau 168,11 juta orang. Untuk vaksin dosis III atau booster, sudah ada 47,75 juta orang atau 22,93 persen yang telah disuntik vaksin.
Deputi Eksternal Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Edo Rakhman menilai terlalu dini untuk menurunkan status menjadi endemi. Sebab, secara nasional antara penerima vaksin dosis I dan dosis II masih terdapat selisih yang besar, sekitar 40 juta. “Kalau pemerintah benar-benar ingin menurunkan status menjadi endemi, pemerintah harus memastikan betul masyarakat kita ini aman dari Covid-19,” cetus Edo.
Maka, pemerintah harusnya memberikan hak vaksin yang sama antara masyarakat di wilayah 3T (terdepan, terpencil, dan terluar) dengan masyarakat kota. Agar wilayah di 3T bisa mencapai batas minimal minimal vaksinasi 80 persen dari populasi untuk mendapatkan kekebalan komunitas (herd immunity). “Untuk itu, perlu dipastikan cakupan vaksinasi mencapai 80 persen dan tersebar merata, sebelum mengubah status dari pandemi menjadi endemi,” kata dia.
Persebaran yang merata itu juga belum tentu mencakup seluruh masyarakat, utamanya kelompok rentan seperti kalangan disabilitas. Menurut Ketua Umum Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) Maulani A Rotinsulu, masih banyak penyandang disabilitas yang belum mendapatkan vaksin.
Akses vaksinasi bagi kalangan disabilitas ini terbatas karena layanannya tak ramah difabel. Mulai dari sisi informasi vaksin, pendaftaran, sampai lokasi vaksinasi. “Saya masih sering menemukan kasus difabel belum mendapatkan vaksin,” ujarnya.
Menurutnya, perubahan dari pandemi ke endemi jangan hanya mempertimbangkan jumlah yang divaksin, namun juga persebaran kalangan yang divaksin. Kelompok disabilitas merasa dirugikan, jika status pandemi diubah ke endemi tanpa mempertimbangkan mereka. “Kalau memang tidak dilibatkan dalam penyusunan peta jalan perubahan pandemi ke endemi ini, berarti partisipasi penuh dan bersama penyandang disabilitas belum diperhitungkan,” ujarnya.
Untuk itu, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Akses Vaksinasi bagi Masyarakat Adat dan Kelompok Rentan pemerintah untuk melakukan vaksinasi hingga mencapai 80 persen dari populasi secara merata sebelum mengubah status dari pandemi menjadi endemi. Pemerataan ini utamanya untuk wilayah 3T dan di kalangan masyarakat adat, kelompok rentan, atau kalangan disabilitas.
Koalisi juga berharap, kalangan masyarakat adat dan kelompok rentan dilibatkan dalam penyusunan peta jalan perubahan dari status pandemi menuju endemi, agar kelompok rentan tidak semakin terpinggirkan.