Jakarta – Majalahcsr. Kemarau seharusnya sudah usai, saatnya memasuki musim penghujan. Namun beberapa hari terakhir cuaca sedikit aneh. Misalnya di Jakarta, setelah beberapa hari suaca sangat panas, kemudian hujan deras turun. Dampak perubahan iklim sekali lagi menunjukkan wajahnya.
Hutan mangrove yang terdapat di pesisir ternyata potensial untuk menyimpan karbon, namun pengelolaannya masih belum bisa dikatakan baik. Deputi Bidang SDM, Iptek, dan Budaya Maritim Kementerian Koordinator Kemaritiman Safri Burhanuddin di Jakarta akhir pekan lalu, seperti yang dikutip dari Greeners.co mengatakan, potensi besar yang ada di kawasan pesisir akan terus didorong untuk dikembangkan sebagai potensi karbon biru.
Seperti yang dketahui, Pemerintah Indonesia berupaya untuk menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) hingga 29 persen pada 2030 mendatang. “Selain itu, pemanfaatan karbon biru, juga sebagai bentuk implementasi dari tujuan pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDG) butir 14,” ujarnya.
Dari penelitian yang dilakukan Kementerian Kelautan dan Perikanan sejak lima tahun terakhir, padang lamun memiliki potensi menyerap dan menyimpan karbon sekitar 4,88 ton/ha/tahun. Sedangkan total ekosistem padang lamun di Indonesia diperkirakan dapat menyimpan 16,11 juta ton karbon /tahun.
Sementara, untuk ekosistem mangrove, rata-rata penyerapan dan penyimpanan karbon bisa mencapai 38,80 ton/ha/tahun. Bila dihitung secara total, maka potensi penyerapan karbon ekosistem mangrove adalah 122,22 juta ton/tahun.

Hutan mangrove di Teluk Etna, Kabupaten Kaimana, Provinsi Papua Barat yang masih asri. Mangrove di Teluk Etna menjadi bagian dari mangrove Kaimana yang terluas dan potensial menjadi blue carbon di Indonesia. Dok : M Ambari/Mongabay Indonesia
Sayang, potensi besar itu tidak sejalan dengan kehilangan yang terjadi di hutan bakau. Lebih dari seperempat luas hutan bakau dalam tiga dekade terakhir dari 4,20 juta hektar pada tahun 1982 menjadi 3,48 juta hektar pada tahun 2017 hilang.
Dosen Ilmu Atmosfer Institut Pertanian Bogor (IPB) Daniel Murdiyarso, mengatakan, pemanfaatan hutan bakau, adalah untuk mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Keberadaannya bisa menyerap emisi yang bertebaran di udara dengan sangat banyak dan bisa menjadi gudang terbesar untuk penyimpanan emisi dunia. Kemampuan mangrove dalam menyerap emisi di bumi, mencapai 20 kali dari kemampuan hutan tropis.
“Potensi ekonomi dari mangrove sangatlah besar. Ada potensi blue carbon yang bisa menghasilkan nilai ekonomi hingga USD10 miliar. Itu jumlah yang sangat besar,” jelas peneliti Center for International Forestry Research (CIFOR) itu.
Besarnya potensi karbon biru atau blue carbon tersebut, kata Daniel, tidak lepas dari luasnya kawasan mangrove di Indonesia yang saat ini mencapai 2,9 juta hektare. Luasan tersebut sama dengan luas negara Belgia di Eropa atau seperempat dari total luas mangrove yang ada di seluruh dunia.
Dalam satu hektar hutan mangrove di Indonesia, tersimpan potensi karbon yang jumlahnya 5 kali lebih banyak dari karbon hutan dataran tinggi. Dan faktanya, saat ini hutan mangrove di Indonesia menyimpan cadangan karbon 1/3 dari total yang ada di dunia.
“Saat ini karbon yang tersimpan di hutan mangrove Indonesia mencapai 3,14 miliar ton. Dan, untuk bisa mengeluarkan karbon sebanyak itu, Indonesia perlu waktu hingga 20 tahun lamanya,” ucap anggota penyusun laporan panel antar pemerintah untuk perubahan iklim PBB (IPCC) .
Karena begitu besarnya potensi penyimpanan karbon, Daniel mengingatkan kepada semua orang untuk selalu menjaga hutan bakau di Tanah Air. Pasalnya, jika sampai terjadi deforestasi mangrove, maka akan ada karbon yang dilepaskan ke udara.
“Itu artinya, ada emisi yang kembali udara. Dan, emisi tahunan dari kerusakan hutan mangrove Indonesia mencapai 190 juta co-eq. Itu jumlah yang sama dengan emisi jika setiap mobil di Indonesia mengitari bumi hingga dua kali,” tandas dia.

Dok. SAM August Himmawan
Menurut Daniel, kerusakan mangrove di Indonesia ikut menyumbangkan kerusakan mangrove di dunia. Karena faktanya, emisi global tahunan dari rusaknya ekosistem pesisir berasal dari rusaknya hutan mangrove Indonesia.
Dan, Daniel menyebutkan, salah satu penyebab terjadinya kerusakan mangrove di Indonesia, adalah karena semakin masifnya pengembangan sektor perikanan budidaya di seluruh pulau. Tak tanggung-tanggung, dia menyebut, dalam tiga dekade terakhir, 40 persen hutan mangrove Indonesia rusak, karena budidaya perikanan.
“Setiap tahun, 52 ribu hutan mangrove Indonesia hilang dan itu setara dengan areas seluas kota New York di AS dalam 18 bulan,” tukasnya.