Jakarta, MajalahCSR.id – Studi bidang teknik yang umumnya didominasi laki-laki ternyata banyak juga diminati perempuan. Seperti Salma Oktaviani, alumni SMK Negeri 1 Cimahi yang sehari-hari bekerja membongkar pasang telepon dan gawai di Samsung Service Center Mall Ambassador, Jakarta. Diakuinya tenaga teknisi umumnya mayoritas laki-laki. Tapi itu tak menyurutkan minat Salma untuk menggeluti bidang yang disukainya itu.
“Di sekolah kan basic-nya juga memang teknik. Kendala dan tantangan pasti ada, tapi di STI kami sudah belajar mengenai produk Samsung, cara kerja smartphone, bongkar-pasang, dan lain sebagainya. Apa yang dikerjakan sekarang sudah dipelajari dasarnya di STI dan dikembangkan di sini,” kata Salma.
STI yang dimaksud Salma adalah Samsung Tech Institute, program kemitraan yang dikembangkan Samsung Electronic Indonesia dengan sekolah menengah kejuruan dengan meningkatkan keahlian lulusannya agar lebih mudah diserap industri. Program yang dimulai pada 2013 dengan nama Rumah Belajar Samsung ini disempurnakan dan berganti nama tahun 2017 menjadi Samsung Tech Institute (STI) dengan memperkaya kurikulum dan memperluas target penerima manfaat yaitu SMK di Indonesia.
Sekolah yang menjadi mitra harus memiliki setidaknya jurusan Teknik Komputer, Teknik Audio Video, Teknik Elektronika, atau Rekayasa Perangkat Lunak. Para mitra ini akan mendapatkan dukungan berupa sinkronisasi kurikulum, pengajar tamu, pelatihan untuk guru, praktik kerja lapangan (di service center dan in-store), pandusan sarana dan prasarana, serta peluang kerja bagi lulusannya sesuai kebutuhan industri.
Besarnya peluang kerja yang lebih cerah bagi lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) memang meningkatkan minat masyarakat untuk memilih pendidikan vokasi. Ini sejalan dengan temuan riset Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tahun 2021 yang menunjukkan bahwa 82% responden tertarik melanjutkan pendidikan ke SMK karena peluang kerja yang bagus (57,8%) dan pilihan jurusan yang banyak (51,95%).
Di sisi lain, ketidaksiapan sekolah yang akhirnya melahirkan lulusan yang tidak kompeten juga mendorong lahirnya pengangguran terbuka. Saat ini jumlah angka pengangguran terbuka di Indonesia menurut catatan Pusat Statistik (BPS) tahun 2022 adalah 10,38%. Kiki Yuliati, Direktur Jenderal Pendidikan Vokasi, Kemendikbud RI mengatakan, “Peningkatan kualitas pendidikan vokasi di SMK adalah kunci untuk mengurangi pengangguran, salah satunya melalui kolaborasi antara dunia pendidikan dan industri.”
Ia mengapresiasi program kemitraan dengan industri untuk mencetak lulusan SMK yang siap kerja dengan bekal keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan industri. “Kami yakin, jika langkah ini bisa diikuti lebih banyak perusahaan, dunia pendidikan vokasi di Indonesia akan mampu mencetak anak-anak muda yang handal dan siap kerja, bukan penyumbang angka pengangguran.”
Kolaborasi antara dunia pendidikan dan industri menjadi salah satu keunggulan sekolah vokasi. Selain meningkatkan kualitas lulusan, kolaborasi ini menjadi ruang bagi dunia usaha untuk mengakses lulusan yang siap kerja serta membantu Pemerintah menurunkan angka pengangguran terbuka. Kemitraan yang dilakukan Samsung Tech Institute tahun 2017-2022 misalnya, telah meluluskan 4.106 siswa dan 50% di antaranya telah bekerja.
Pada 2022, Samsung Tech Institute meluluskan sebanyak 1.370 siswa dari 42 SMK di seluruh Indonesia melalui Uji Kompetensi Keahlian (UKK), yang dilaksanakan pada Maret-Juni 2022. Uji kompetensi yang dilakukan Balai Besar Pengembangan Penjaminan Mutu Pendidikan Vokasi Bidang Otomotif dan Elektronika dari Kemendikbud-Ristek mencakup kompetensi umum dan khusus, sesuai dengan keahlian perbaikan elektronika yang dipilih, seperti Home Appliances (HA), Audio Video (AV) dan Handheld Product (HHP).
Selain kompetensi teknik, kemitraan ini juga bermanfaat bagi lulusan yang tertarik di bidang pemasaran dan pelayanan pelanggan. Khaerun Nisa, promotor di SPS Digi Store Makassar, Sulawesi Selatan, yang merupakan alumni STI dari SMK Negeri 10 Makassar, mengatakan berbagai materi yang dipelajari semasa belajar STI bisa diaplikasikan dengan baik saat dia bekerja.
“Di STI kami belajar cara melayani pelanggan, bagaimana attitude saat berhadapan dengan pelanggan, dan juga training mengenai produk-produk Samsung, sehingga ketika pelanggan bertanya, saya bisa merekomendasikan produk Samsung yang paling cocok dengan kebutuhan mereka,” ujar Nisa.
Tak heran bila Nisa selalu mencapai target yang diberikan di mana pun dia ditempatkan. Sebelum direkrut menjadi promotor, Nisa terlebih dahulu mengikuti program PKL In-store di salah satu mitra Samsung.
Pilihan keahlian ini dilakukan untuk menyesuaikan diri dengan kebutuhan industri. “Tantangan SMK di Indonesia saat ini adalah bagaimana menjawab tantangan dunia kerja dengan mencetak lulusan yang siap kerja. Itulah sebabnya, sejak tahun 2017 Samsung merancang program Samsung Tech Institute yang sesuai dengan kebutuhan sekolah kejuruan di Indonesia dalam meningkatkan kompetensi siswa dan para tenaga pendidiknya,” ungkap Ennita Pramono, Head of Corporate Citizenship Samsung Electronics Indonesia.
Untuk menyerap lulusan, Samsung Tech Institute juga bekerja sama dengan mitra Samsung untuk memfasilitasi Program Kerja Lapangan, yang selanjutnya akan memberikan peluang bagi para siswa untuk mengikuti proses rekrutmen. Lulusan STI yang berhasil melewati proses ini mengakui bahwa materi yang dilatih di STI memang sangat relevan dengan kebutuhan dunia kerja.
Sebanyak 62% siswa lulusan STI tahun ini langsung diserap dunia kerja, di mana 22% termotivasi untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Sementara sisanya, memutuskan untuk berwirausaha berbekal pengetahuan dan pengalaman kerja yang mereka dapatkan.