Jakarta, MajalahCSR.id – Sudah bukan lagi sekedar wacana bila bumi tengah berada dalam ancaman malapetaka lingkungan. Naiknya suhu, kerusakkan ekosistem alami lingkungan, sampai polusi adalah deretan ancaman tersebut. Sementara konsumsi energi fosil juga makin mempercepat perubahan iklim dan merusak baik ekosistem daratan dan perairan akibat cemarannya.
Alih-alih membiarkan itu terus terjadi, beberapa pihak melakukan aksi nyata untuk mencegah. Salah satunya adalah apa yang diiisiasikan oleh Pangeran William dari Inggris melalui The Royal Foundation pada 2020. Calon raja Inggris ini menggelar penghargaan Earthshot Prize melalui yayasan amal independen miliknya.
Dilansir oleh Inhabitat, penghargaan tersebut terinspirasi dari inisiatif Presiden John F Kennedy, Moonshot pada dekade 1960an. Saat itu jutaan orang bekerja sama untuk kampanye keberhasilan mendaratkan manusia pertama di bulan.
Ajang penghargaan Earthshot diberikan kepada para pelaku usaha, inovator, yang memelopori dan menemukan solusi inovatif untuk membereskan problem lingkungan saat ini. Tiap pemenang mendapatkan penghargaan dan uang senilai 1 juta paun atau lebih dari Rp 18 miliar rupiah. Inilah para penerima penghargaan tersebut.
Demi udara bersih: Mukuru Clean Stoves, Kenya
Startup asal Kenya yang membantu para perempuan di sana dengan produk kompor yang bersih tanpa residu. Pendirinya juga seorang perempuan bernama Charlot Magayi. Magayi sebelumnya berprofesi sebagai penjual arang bahan bakat di salah satu kawasan kumuh terbesar di Nairobi. Ia mendirikan startup nya pada 2017 lalu yang idenya muncul setelah peristiwa luka bakar anaknya akibat terbakar kompor arang pada 2012 silam.
Kejadian memilukan itu mendorongnya mencari jalan keluar. Adapun misi yang ia lakukan untuk mengurangi polusi dalam ruangan (akibat kompor tak sehat) sekaligus menawarkan cara memasak yang lebih aman, melalui startup yang dinamai Mukuru Clean Stoves. Kompor yang diproduksi terbilang sederhana karena terbuat dari logam daur ulang. Pasalnya, konsumennya adalah keluarga miskin di perkampungan kumuh kawasan Mukuru. Harga per kompor USD 10 dan bahan bakarnya campuran biomassa dari arang, serpihan kayu, dan batang tebu.
Melindungi dan memulihkan alam: Kheyti, India
Sebuah startup asal India mengenalkan solusi yang membantu para petani kecil untuk menekan biaya, memperluas hasil, melindungi mata pencaharian mereka di negara yang tengah menghadapi perubahan iklim.
Sektor pertanian memberi penghidupan pada lebih kurang 100 juta petani kecil di India. Di sisi lain, India adalah negara yang paling rentan terhadap dampak perubahan iklim. Salah satunya gelombang panas menjadi ancaman nyata yang menghancurkan produksi pangan.
Startup bernama Kheyti ini mengembangkan metode yang disebut “greenhouse in a box” yang meningkatkan hasil panen. Metode ini mampu melindungi panen dari hama dan kondisi cuaca yang tak menguntungkan. Greenhouse Kheyti sejauh ini digunakan lebih dari 1.000 petani. Kheyti berencana untuk meningkatkan kapasitas hingga 50.000 petani pada 2027.
Menyelamatkan Laut: Perempuan Suku Asli dari Great Barrier Reef, Australia
Kondisi koral populer Great Barrier Reef makin memburuk dari tahun ke tahun, akibat suhu yang makin menghangat, polusi lautan, dan penangkapan ikan yang berlebihan. Para petugas lingkungan yang beranggotakan perempuan suku asli di Australia dengan tanpa lelah terus melindungi obyek ekosistem vital ini dari kerusakkan.
Inisiatif perlindungan yang dimotori perempuan ini menggabungkan pengetahuan suku asli selama 60.000 tahun dengan teknologi modern seperti drone. Mereka bekerja unutk mengawal Great Barrier Reef melawan ancaman mulai badai, pengasaman laut, degradasi, bahkan kebakaran hutan.
Inisiatif bertujuan untuk membangun petugas wanita untuk generasi mendatang. Jadi, hingga saat ini sudah melatih lebih dari 60 wanita dan mengimplementasikan strategi konservasi baru. Upaya ini mendapat dukungan dari level grassroots dalam penerapan strateginya untuk kebijakan yang lebih baik demi solusi perlindungan untuk melindungi Great Barrier Reef.
“Tempat ini (Great Barrier Reef) selalu menjadi rumah bagi kami, namun saat ini kami berisiko kehilangan tempat dan kultur unik dan khas yang sudah ada selama ribuan tahun. (Oleh sebab itu) ‘Our Women Rangers Network’ hadir untuk melindungi rumah dan tradisi kami,” kata Larissa Hale, pemimpin gerakan.
Membangun dunia tanpa sampah: Notpla, Inggris
Notpla, startup yang punya misi untuk “menolak plastik” mendorong upaya mengganti plastic dengan material rumput laut dan tanaman. Dua nama pendirinya, Pierre Paslier dan Rodrigo Carcia Gonzalez membangun perusahaannya sejak 2019. Mereka berkolaborasi untuk mengembangkan pengemas yang bisa terurai bermaterialkan rumput laut yang bisa dipakai untuk segala keperluan, seperti wadah cairan, lapisan kotak makanan, kosmetika, hingga industry fesyen.
Notpla sejauh ini sudah menyuplai lebih dari 1 juta kotak makanan untuk brand Just Eat Takeaway, perusahaan makanan pengiriman online. Kemasan ramah lingkungan ini secara signifikan mampu mengurangi polusi limbah di laut. Menurut data website startup, hanya 9% dari total plastic yang diproduksi yang akhirnya bisa didaur ulang, sementara cuma 12% yang terkonfirmasi habis dibakar.
Memperbaiki Iklim: 44.01, Oman
Nama startup unik ini ternyata berasal dari berat karbon dioksida, yaitu 44,01 gram per mole. Startup ini mengembangkan metode baru yang secara permanen menghilangkan CO2 dari udara dengan menjadikannnya mineral batu. Peridotite adalah batu yang terbentuk secara alami dari matel bumi dan bisa ditemukan di Oman, Amerika, Eropa, Asia, dan Australasia. Mineralisasi merupakan proses di mana CO2 bisa tersimpan di dalamnya.
“44,01 mempercepat prosesnya dengan memompa air karbonasi ke dalam lapisan batuan peridotit di dalam lapisan tanah,” terang Earthshot melalui situs resminya.
Mineralisasi sangat membantu menghilangkan CO2 dari atmosfir. Ini merupakan cara lain dari teknologi sejenis yang juga menyimpan CO2 ke bawah permukaan tanah pada sumur minyak atau lapisan air tanah non aktif. Hasilnya, melalui teknologi mineralisasi ini, karbon dioksida (berlebih) bisa dihilangkan di atmosfir. Pada 2040 nanti, startup ini memproyeksikan satu miliar metrik ton CO2 mampu tersimpan.
Teknologi tersebut menjadi harapan bagi upaya menangkal dan mengurangi dampak pemanasan global akibat karbon dioksida yang makin dikejar waktu.