MajalahCSR.id – Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tengan mempertimbangkan penanaman pohon Pongamia untuk bahan bakar biofuel, restorasi lahan, yang bisa meningkatkan ekonomi lokal masyarakat, termasuk di dalamnya bahan pangan.
Kepulauan Indonesia, yang terdiri dari 17.000 pulau, sedang berada dalam tekanan dengan sejumlah persoalan. Pertama, pemerintah berkeinginan merestorasi 14 juta hektar lahan untuk memenuhi ketentuan PBB dalam menciptakan energi hijau sebanyak 23% terhadap total kontribusi energi nasional dalam 5 tahun ke depan.
Mengutip dari Intelligentliving, Selasa (18/1/2021), penanaman pohon Pongamia sangat penting dilakukan mengingat cadangan gas alam dan minyak diperkirakan akan habis pada 2030 mendatang. Hal ini berarti pohon Pongamia bisa menawarkan solusi bagi keduanya (restorasi dan sumber energi terbarukan).
Pongamia pinnata adalah pohon yang berasal dari spesies keluarga polong-polongan dan memiliki kandungan minyak tinggi dalam bijinya. Pohon ini bisa dengan mudah ditemukan di wilayah Asia. Pongamia yang bernama lain Indian Beech, pohon Karum, Kranji, dan Malapari, bisa tumbuh di lahan rusak, atau pinggiran, baik di iklim kering atau basah. Secara umum, bijinya berwarna coklat atau jingga tua diperas unutk diambil minyaknya dalam pembuatan sabun, atau untuk penyembuhan luka, pewarnaan material kulit, dan masih banyak lagi.
Namun, Pemerintah tidak lantas terburu-buru melakukan penanaman massif. Ada sejumlah alasannya:
- Pohon yang tumbuh sangat cepat biasanya tak berumur panjang sehingga dampaknya kurang pada perubahan struktur tanah
- Pohon yang tumbuh lambat dan kuat, sangat rentan ditebang warga karena mereka dianggap tak menghasilkan apapun
- Pohon yang menghasilkan produk hutan kemungkinan kurang mendukung pada fungsi ekosistem di sekitar mereka, atau kurang berpengaruh pad restorasi lahan secara keseluruhan
Namun demikian, jika 14 juta hektar tadi direstorasi merujuk pada target Perjanjian Iklim Paris, sangat penting menanam spesies yang cocok. Setelah dilakukan serangkaian studi, spesies yang dimaksud adalah Pongamia.
Pongamia bisa tumbuh di lahan keriang dan basah, dari ketinggian kawasan pantai hingga 1.200 di atas permukaan laut. Pohon ini salah satu tercepat dalam pertumbuhan di Indonesia, dan tak masalah tumbuh di lahan rusak, seperti di pinggiran lahan pertanian. Pongamia juga mampu memperbaiki kualitas tanah dengan memperbaharui kandungan nitrogen tanah.
Minyak dari ekstrak bijinya sangat potensial dijadikan biofuel dan terbukti bisa dilakukan melalui metode ekstraksi modern. Sebuah studi bahkan mengungkapkan bahwa cara ekstraksi modern mampu menghasilkan 44% minyak lebih banyak dari cara tradisional. Jika dikombinasikan dengan 4% minyak solar, bisa memberi tenaga mesin disel tanpa masalah. Ini sangat cocok dengan kondisi di Indonesia yang masih banyak memanfaatkan mesin generator listrik di berbagai lokasi terpencil.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sudah bekerja sama dengan lembaga Center for International Forestry Research (CIFOR) untuk menemukan manfaat Pongamia yang lebih luas. Salah satu tenaga ahli, Budi Leksono, mengungkapkan bahwa pohon ini juga bisa menghasilkan sumber pangan. Sebelum diolah dan dikeringkan, biji ini bisa diubah jadi bahan tepung yang dapat dikonsumsi.
Langkah berikut dari CIFOR adalah mempelajari apakah tumbuhan Pongamia bisa cocok untuk lahan bekas tambang dan lahan gambut. Ide ini muncul karena lahan gambut merupakan tanah kaya karbon, sementara perkebunan Pongamia bisa menangkap CO2 dari udara. Pada kenyataannya, ini sudah dilakukan di Provinsi Kalimantan Tengah belum lama ini.
“Kami menanam pohon ini setahun lalu, dan sejauh ini, mereka tumbuh lebih cepat dibanding tanaman sejenis. Ini menandakan tanaman memiliki daya toleransi tinggi pada kondisi tak bersahabat, dan sangat menjanjikan untuk restorasi dan rehabilitasi lahan rusak,” terang Budi.