Jakarta, MajalahCSR.id – Keberadaan laporan keberlanjutan atau Sustainability Report di jaman sekarang makin menjadi kebutuhan korporasi, Apalagi, laporan merupakan bagian dari tanggung jawab keberlanjutan operasional perusahaan selain, laporan lainnya (seperti integrated reporting) bagi pemangku kepentingan terutama para investor atau pemilik modal.
Meningkatnya komitmen perusahaan dalam mengungkap praktik etika bisnis lewat laporan tersebut menimbulkan kebutuhan lain: laporan yang tak sekedar melaporkan, melainkan juga transparan dan teruji kebenarannya melalui pedoman standar yang ditetapkan, seperti GRI dan SASB bila diakui secara global dan POJK 51 sesuai aturan yang ada di Indonesia.
Investasi keberlanjutan capai ribuan triliun rupiah
Ini artinya laporan keberlanjutan butuh validasi yang terukur dan terpercaya. Untuk mencapai hal ini, peran assessor atau penilai laporan dari lembaga independen pada akhirnya mutlak dibutuhkan. Menurut Birendra Raturi, International Director Social Responsibility Asia (SR Asia) India, saat ini asset keberlanjutan dan ESG di dunia terkait investasi akan mencapai lebih dari USD 553 miliar atau sekitar Rp 8,6 ribu triliun (kurs Rp 15.603) pada 2025 mendatang.
Angka investasi raksasa di atas membutuhkan kerangka laporan informasi keberlanjutan yang handal, netral, komprehensif, terukur, dan jelas. Secara gamblang fakta ini membeberkan kesempatan peran penilai dokumen sustainability report yang kian terbuka, dan banyak dibutuhkan. “Hal tersebut membuktikan semua potensi yang berkaitan dengan keberlanjutan, baik itu praktiknya, pelaporan keberlanjutan, ‘assessment’ laporan keberlanjutan, atau apapun yang berhubungan dengannya, akan lebih populer dan berkembang lebih besar ke depan,” tutur Birendra dalam diskusi webinar bagian pertama “Digging to The Root of Sustainability Report”, Jumat (16/12/22) yang digelar SR Asia Indonesia.
Kepopuleran praktik keberlajutan didukung pula oleh perilaku konsumen yang berubah. Konsumen global mulai menyadari pentingnya bertransaksi dengan produk yang berkelanjutan dari perusahaan yang menerapkan praktik keberlanjutan. Birendra memaparkan, dalam skala global, sebanyak 55% konsumen bersedia untuk membeli harga lebih mahal atas produk barang dari perusahaan yang menerapkan tanggung jawab sosial. Sementara 65% konsumen rela memilih layanan dari perusahaan yang menerapkan tanggung jawab serupa.
Sementara itu, jumlah industri yang menerapkan praktik ESG dan melaporkan praktik keberlanjutannya secara tervalidasi secara sektoral adalah industri material dasar (65%), telekomunikasi (62%), finansial (54%), energi (52%), manufaktur (51%), kesehatan (48%), industri makanan minuman (46%), industri layanan utilitas (air bersih, listrik, dll) (46%), teknologi (45%), industri tersier (45%), dan terakhir industri pemukiman/hunian (41%). Persentase tersebut akan terus membesar seiring tuntutan investor, konsumen, dan pemangku kepentingan lainnya.
“Validasi (‘assurance’ bagi praktik keberlanjutan) adalah penting bagi perusahaan karena memberi kepastian atas produk yang berkualitas, pasar yang baik, (praktik) bisnis yang baik, keuntungan yang baik, dan masih banyak lagi,” imbuhnya.
Keberlanjutan juga merupakan tuntutan konsumen, karena menurut Birendra, hal ini menyangkut kepastian kebutuhan hidup mereka di masa depan (termasuk ketersediaan makanan, hunian yang aman, dan sebagainya). Kebutuhan perusahaan atas pelaporan praktik ESG yang tervalidasi secara akurat, transparan, dan dapat dipertanggungjawabkan di mata investor, konsumen, dan pemangku kepentingan lain, mendorong profesi “assurance” atau para assessor jadi kian diperlukan. Tentunya assessor yang memahami dan terkualifikasi resmi dengan pedoman standar pelaporan, mulai GRI, SASB, dan sebagainya.
Di sisi lain, perkembangan komitmen jumlah perusahaan global dalam menyampaikan sustainability report dan laporan lain makin meningkat. Menurut data hasil survei KPMG International pada September 2022, seperti yang disampaikan Birendra, pada tahun 1993, hanya 12% dari lebih dari 5000 perusahaan dunia yang tergabung dalam N100 yang menyampaikan laporan. Sementara pada 2022 ini, 96% di antaranya sudah memiliki laporan praktik ESG yang tervalidasi.
Upaya assurance memastikan laporan praktik tanggung jawab sosial benar sesuai dengan yang dilakukan di lapangan, dan merujuk dan memenuhi aspek pedoman pelaporan standar. Birendra mengungkap terdapat sejumlah material topik yang biasanya menjadi perhatian pemangku kepentingan dalam praktik dan pelaporan perusahaan.
Material topik dimaksud seperti aspek lingkungan terdiri dari perubahan iklim, air dan daur ulangnya, energy dan bahan kimia. Lalu aspek tata kelola seperti tata kelola perusahaan, manajemen risiko, keuntungan yang berkelanjutan, dan inovasi. Terakhir adalah bagian dari aspek manusia dan keamanan, yaitu keberagaman, keamanan, serta pelibatan sosial. Material topik tersebut berkorelasi dengan ke 17 sustainable development goals atau tujuan pembangunan berkelanjutan (yang terangkum menjadi 4 pokok tujuan yaitu tata kelola, ekonomi, sosial, dan lingkungan).
Kenapa butuh jasa assurance?
Pembaca laporan berkelanjutan, seperti pemangku kepentingan, bahkan konsumen, membutuhkan informasi yang tepat. Guna meningkatkan kepercayaan isi informasi yang disampaikan, diperlukan jasa assurance melalui para penilai informasi yang diistilahkan assuror.
“Ketika kualitas informasi itu meningkat, otomatis dengan sendirinya, risiko-risiko informasi dapat berkurang. Layanan assurance ini yang bisa mengurangi risiko (ketidakakuratan) informasi yang disampaikan,” jelas Lim Hendra, Lead Assuror SR Asia Indonesia. Yang paling penting, lanjutnya, adalah opini dari profesional assuror baik oleh akuntan atau profesi independen terbiasa melakukan, atas laporan yang dinilainya.
“Ada tiga hal (alasan) kenapa kita membutuhkan assuror, pertama untuk meningkatkan kualitas informasi, mengurangi risiko informasi, dan mendapatkan opini independen dari para professional (assuror) yang melakukan tugas assurance,” papar Hendra.
Oleh karena masih terbilang baru, masih banyak yang belum memahami perbedaan antara audit dan assurance adjustment. Audit, bertujuan untuk menguji validitas dari laporan keuangan perusahaan. Sementara tujuan dari assurance adalah menguji validitas data siklus bisnis, bisa berupa informasi keuangan dan non keuangan perusahaan.
Perbedaan lainnya, masih menurut Hendra, adalah standar. Jika audit menggunakan standar auditing, maka assurance menggunakan standar peningkatan assuror audit dan review laporan keuangan. “Tetapi dalam proses jasa assurance, seorang akuntan ketika berbenturan dengan standar audit, maka dia harus menggunakan standar audit. Misalnya penggunaan ‘working expert’. Jika sustainability reporting memakai pengukuran tingkat emisi yang dihasilkan, maka auditor harus melakukan pengujian atas working expert tersebut,” tutur Hendra.
Hal ini karena audit lebih terstruktur (highly structured), merupakan alat analisis investor pada perusahaan secara menyeluruh, dan standar yang ada sejak lama (terpercaya) dibandingkan dengan assurance. Perbedaan selanjutnya, assurance hanya membantu untuk mengurangi risiko manajemen, dan membantu manajer atau pembuat kebijakan di perusahaan untuk lebih percaya diri membuat keputusan. Selain itu, assurance fungsinya sebagai alat analisis sosial untuk investor.
Apa sebenarnya manfaat validasi atau sustainability assurance? Manfaat pertama untuk mengevaluasi bagaimana perusahaan memastikan topik material yang diangkat sinergi dengan kepentingan perusahaan. Manfaat kedua untuk memahami isu material tersebut dan bagaimana perusahaan menyikapinya. Ketiga, mengevaluasi informasi keandalan kinerja keberlanjutan perusahaan. Keempat merupakan challenges atau tantangan, artinya, perusahaan tak sekedar memberikan laporan yang bagus melainkan juga yang juga bagus merujuk pada isi laporan keberlanjutan.
Lalu manfaat secara internal organisasi seperti apa? Mendorong organisasi perusahaan yang manajemen keberlanjutan dan sistem pelaporannya masih keliru menjadi tepat. Lalu dapat memperbaiki kinerja manajemen keberlanjutan, serta para assessor ahli dapat memberikan menilai proses, mengevaluasi kelengkapan keterlibatan pemangku kepentingan dan menganalisis respon stakeholder tersebut pada isu material.
Pada proses penilaian, assessor dapat mempergunakan pedoman AA1000AS atau ISAE3000 sebagai kerangka kerja. Mana yang lebih baik? Menurut Hendra keduanya bukan untuk dinilai yang terbaik, melainkan melengkapi satusama lain. Hasil studi mengungkapkan kedua international assurance standard itu tidak untuk saling menjatuhkan dan sebagai pengganti satu sama lain, melainkan unutk melengkapi.
Sebagai contoh, sustainability assurance yang berdasarkan kombinasi kedua standar itu akan merujuk pada hasil yang lebih sempurna dalam hal cara pendekatan, metodologi, hasil akhir, komunikasi, kredibilitas, dan hasil mumpuni terkait sikap dan kepercayaan pemangku kepentingan, demikian pungkas Hendra.
Data sebagai nyawa pelaporan
Pada sebuah laporan, termasuk laporan keberlanjutan, peran data informasi sangatlah vital. Memproses data pun bukanlah perkara gampang. Alurnya dari mulai pengumpulan, pengolahan, hingga digunakan untuk menunjang laporan, dibutuhkan tindakan yang akurat. Jika data keliru, maka laporan yang dihasilkan pun menjadi tidak “reliable”.
Namun pengelolaan data kini boleh jadi tak lagi sesulit manual. Saat ini banyak bermunculan aplikasi atau perangkat lunak yang dapat membantu korporasi untuk mengumpulkan, mengolah, menyimpan, dan sekaligus mengambil data. Dari mulai aplikasi untuk kebutuhan akuntansi dan keuangan, hingga masalah perhitungan emisi. Salah satu aplikasi yang sangat membantu proses aktivitas data adalah sustainability data management system (SDMS). Aplikasi ini memang diperuntukkan pengolahan data terkait praktik keberlanjutan di perusahaan.
Menurut Mario, Advisor for ESG technology Innovation SDMS, maraknya kegiatan pelaporan keberlanjutan dengan isu material yang kompleks menyebabkan proses aktivasi data, dari mulai pengumpulan, penyimpanan hingga pengolahan bertambah rumit. Apalagi jika kita ingin membuka data tahun-tahun sebelumnya, yang bila dilakukan secara konvensional akan lebih menyulitkan dan memakan waktu.
Pilihannya adalah melakukan digitalisasi data, sehingga data yang ingin kembali dibuka, serta pengumpulan dan perubahan data (bila ada) menjadi lebih mudah, karena dapat diakses kapan dan di mana pun melalui koneksi internet.
SDMS adalah aplikasi yang sangat terintegrasi. Artinya, proses pengumpulan pun dilakukan tanpa perlu input manual (yang rawan kesalahan seperti typo dan sejenisnya). SDMS disebut merupakan one stop solution pada data, dari input, pengolahan, verifikasi, validasi, hingga proses analisis oleh assuror sebagai pihak independen. Oleh karena sifatnya yang real time, bisa diakses tak terkait waktu dan tempat secara aman dan terprivasi. Selain itu, di aplikasi juga sudah mencakup adanya fitur standar pelaporan untuk lokal (POJK 51), maupun internasional (GRI, SASB, TCFB) yang selalu diperbaharui.
Dalam konteks input data, memiliki banyak cara. Mulai dari pengiriman dari aplikasi atau sistem lain melalui API, via template yang bisa diunggah ke SDMS, atau pun secara input manual. SDMS memepersilahkan korporasi untuk melihat aplikasi ini melalui kontak support@sdms.id.
Bagaimanapun data adalah nyawa dari realibilitas laporan. Apabila sudah salah di awal proses input data, atau di pengolahan, hingga timbul di masalah penyimpanan, maka waktu dan tenaga dalam kegiatan pelaporan akan tidak efektif karena harus mengulang dari awal. Selain itu, data yang tepat tentunya akan lebih mudah diolah, hingga pihak assuror bisa memberikan opini tepat yang bisa meyakinkan pemangku kepentingan pada keberlanjutan bisnis perusahaan.