MajalahCSR.id – Hutan memiliki peran sangat penting bagi kehidupan dan perkembangan ekonomi selama ratusan tahun melalui kapasitas biologisnya sebagai sumber energi terbarukan. Pelestarian hutan juga berkaitan dengan kegiatan ekonomi sirkular yang sudah banyak diterapkan, demi menjaga lingkungan yang lebih baik.
Stéphane Dovert, Konselor Kerjasama untuk Kedutaan Besar Prancis dalam webinar Pekan Diplomasi Ikilm, “The Future of Forest: A Discourse on The Circular Economy” yang digelar Rabu (12/10/2021) menyebut pihaknya berupaya mengingatkan bahwa aktivitas manusia telah menyebabkan hilangnya sekitar 40% hutan dunia. Dunia sedang kehilangan hutan dengan laju 10 juta hektar per tahun.
Sementara Henriette Faergemann, Konselor Pertama Lingkungan, Aksi Iklim, Digital Delegasi Uni Eropa untuk Indonesia dan Brunei Darussalam menyampaikan pesan terkait lingkungan dan hutan. Pesan tersebut dirangkum menjadi 3 poin utama, yaitu we care, we can, and we do. Uni Eropa berharap semua pihak bertindak secara kolektif dan melangkah untuk aksi iklim.
“Ekonomi sirkular sangat penting dalam untuk mengatasi perubahan iklim, karena rendahnya keanekaragaman hayati, limbah, dan polusi. Tujuannya untuk mengurangi limbah dan pada saat yang sama menciptakan pertumbuhan dan lapangan kerja yang berkelanjutan,” ujar Henriette.
Adapun Monica Tanuhandaru dari Environmental Bamboo Foundation, mengungkapkan peran bambu yang sangat bermanfaat bagi lingkungan. Bambu disebutnya memiliki kegunaan ekonomi, budaya, dan lingkungan. Bambu bisa mengganti bahan bangunan yang tidak dapat diperbarui seperti kayu keras, plastik, dan logam, dan juga membantu mengurangi emisi CO2.
“Satu meter kubik produk bambu rekayasa menyimpan 1,6 ton CO2. Karbon hanya disimpan dalam suatu produk sementara, karenanya bambu yang dipanen harus dibuat menjadi produk yang lebih tahan lama. Bambu menghasilkan lebih banyak produk dibandingkan kayu, terutama melalui praktik pengelolaan berkelanjutan untuk meningkatkan hasil tahunannya,” papar Monica. Menurutnya bambu berdaya tahan lama dan merupakan produk yang bisa direkayas serta menyimpan lebih banyak karbon.
Selain itu, limbah yang dihasilkan oleh manufaktur atau produk bambu yang tidak terpakai dapat didaur ulang menjadi partikel papan (atau produk yang kurang tahan lama) dan akhirnya sebagai pengganti energi terbarukan dan lebih berkelanjutan.
Reonaldus dari Planète Urgence mengungkapkan, “Indonesia memiliki sekitar 3,1 sampai 3,4 juta hektar mangrove (bakau) atau sekitar 20 persen dari luas mangrove di dunia. Dari jumlah tersebut, tercatat sekitar 600.000 hektar hutan mangrove telah rusak. Hutan mangrove tersebut dikonversikan ke kolam budidaya, penebangan, minyak tumpahan, dan lainnya.”
Mengenai hal ini, Pemerintah Indonesia, tegas Reonaldus, berkomitmen untuk merehabilitasi 600.000 ha hingga 2024 terutama yang berlokasi di sembilan provinsi. Pada kesempatan itu, Reonaldus menyampaikan pentingnya ekonomi sirkular untuk rehabilitasi hutan mangrove dan hutan secara umum. Ia menekankan bahwa salah satu musuh hutan mangrove adalah sampah plastik, karena menyulitkan pertumbuhan mangrove secara natural.
“Jika kita dapat membangun ekonomi sirkular yang efektif dan efisien, seperti reduce, reuse, dan recycle mungkin tidak akan mengancam lagi kelestarian hutan mangrove di masa depan,” cetusnya.
Pekan Diplomasi Iklim 2021 yang digagas Uni Eropa akan berlangsung hingga 16 Oktober dan menghadirkan 40 pembicara dalam 15 sesi seperti webinar, sesi bincang, dialog; dan sejumlah kegiatan lainnya termasuk aksi tanam pohon bakau di pantai Jakarta.