banner
Ilustrasi turis di Taman Nasional Komodo, Nusa Tenggara Timur. Foto : Istimewa
Wacana

Profesor Emil Salim : NTT Pikul Tanggung Jawab Berat Terkait Komodo

229 views

Jakarta, MajalahCSR.id – Taman Nasional Komodo, merupakan salah satu destinasi yang banyak dikunjungi wisatawan. Namun, hal ini justru berdampak menjadi suatu ancaman bagi ekosistem di Taman Nasional Komodo dikarenakan minimnya kesadaran wisatawan akan pengetahuan lingkungan pada destinasi yang dituju.

Untuk itu, destinasi wisata yang berlokasi di Nusa Tenggara Timur (NTT) ini memerlukan adanya program konservasi dan penerapan pariwisata berkelanjutan dalam menunjang kelestarian mutu destinasi. Hal ini berguna untuk mempertahankan ekosistem makhluk hidup di dalamnya. Termasuk menjaga kelestarian kehidupan satwa liar (wildlife) dari komodo yang sejak September 2021 statusnya terancam punah dan telah termasuk dalam daftar merah International Union for Conservation (IUCN).

Mantan Menteri Lingkungan Hidup Republik Indonesia Pertama (1978 – 1993), Prof Emil Salim di awal masa jabatannya menetapkan Taman Nasional Komodo sebagai Taman Nasional pertama di Indonesia mengatakan, jika Taman Nasional Komodo merupakan wisata yang berbeda dengan wisata Bali, wisata kebudayaan atau wisata tempat lain.

“Wisata komodo adalah wisata dengan ‘living creature’ yang unik yang merupakan binatang yang historis,” ujarnya dalam audiensi Daya Dukung Daya Tampung berbasis Jasa Ekosistem di Taman Nasional Komodo (7/7/2022) lalu bersama Tim Pelaksana Penguatan Fungsi Taman Nasional Komodo.

Prof Emil menambahkan wisata komodo adalah wisata dengan nyawa hewan. Bukan wisata benda mati seperti Borobudur atau lainnya. Komodo adalah makhluk hidup yang keunikannya justru menjadi daya tarik. “Nah jika demikian halnya, maka komodo sebagai makhluk hidup, harus kita pertahankan,” ujarnya.

Karena itu, strategi pariwisata di daerah komodo, menurut Prof Emil, tidak atas dasar jumlah kuantitas tamu, melainkan pada keterbatasan kualitas tamu.

“Maka jangan jumlah pengunjung menjadi kriteria. Yang menjadi objek wisata adalah makhluk hidup, bukan benda mati. Apabila ekosistemnya terganggu bisa mengganggu ekuilibrium kehidupan komodo, yang mana (padahal) kita tidak punya ahlinya,” paparnya.

Menurutnya, selama ini komodo dianggap sebagai objek yang berhak dimanfaatkan, tanpa mempedulikan ekosistemnya menjadi berubah atau tidak. Selain itu tidak dipedulikan juga berapa total jumlah pengunjung yang datang tiap harinya. Binatang, sebut Prof Emil, tidak hidup sendiri, namun bergantung pada ekosistem di sekitarnya. Di sisi lain, manusia masih melakukan pembangunan, tanpa mengindahkan dampakya pada lingkungan.

“Saya mungkin sebentar lagi tidak ada. Bapak Ibu juga nanti juga tidak akan ada. Tetapi Komodo tetap harus ada,” tegasnya. Kekayaan alam yang diberikan oleh Tuhan ini hanya ada di Indonesia. Maka tanggung jawab masyarakat Indonesia untuk memelihara anugerah ini. Komodo yang keberadaannya sudah jutaan tahun itu terlalu luhur untuk menjadi objek semata, karena merupakan symbol anugerah Tuhan.

Karena itu, Prof Emil melanjutkan, NTT, memikul tanggung jawab yang amat berat. Memelihara komodo bukan hanya demi komodo saja, tapi demi pemahaman bangsa, anak cucu kita, pada kejayaan tanah air.

Berdasarkan hal itu, Prof Emil menyarankan orientasi terhadap komodo harus berubah. Komodo bukan sebagai objek turis saja tapi sebagai makhluk unik. “(Mahluk ini) Ribuan tahun masih hidup di Republik Indonesia ini, oleh karena itu merupakan kekayaan (alam) luar biasa,” ujarnya. 

Dalam audiensi tersebut, Prof Emil juga menyampaikan bahwa suatu binatang tidak bisa hidup sendiri, melainkan ia bergantung pada ekosistem di sekitarnya, sementara kita sembarangan mengakses habitatnya. Termasuk membuang sampah sembarangan hingga melakukan penggunaan lahan.

“Tidak ada yang peduli pada dampak dari penggunaan lahan, perubahan iklim, suhu, serta alam. Tidak ada yang peduli. Yang penting wisatawan dapat hotel, dapat berwisata, dan dapat naik kapal. Apakah ada yang peduli dengan komodo? Tidak ada. Yang penting uang, uang, dan uang,” kritiknya.

Maka dari itu, ke depannya strategi pengelolaan Taman Nasional Komodo tidak hanya menjadikan jumlah wisatawan sebagai patokan, melainkan berapa besar toleransi yang dapat diterima oleh ekosistem komodo dan makhluk hidup lainnya.

Selain itu, harga masuk perlu dinaikan sebagai kompensasi untuk mengembalikan apa yang hilang dari ekosistem Komodo dan makhluk hidup lainnya di kawasan. Tidak hanya untuk mewujudkan pariwisata yang bertanggung jawab, tetapi juga mengedepankan prinsip serta praktik konservasi dalam melestarikan kekayaan bangsa Indonesia yang tidak ada duanya. 

“Perlakukan Komodo sebagai binatang yang terhormat dan luhur. Jangan rombak pulau, jangan datangkan wisata demi perut semata,” tutup Prof Emil.

Kajian Daya Dukung Daya Tampung

Dalam menunjang program konservasi dan pariwisata berkelanjutan, Kajian Daya Dukung Daya Tampung berbasis Jasa Ekosistem dilakukan untuk mengetahui batas kemampuan Taman Nasional Komodo dalam menampung jumlah wisatawan. Berdasarkan pertumbuhan wisatawan dan ekonomi, pertumbuhan wisatawan 1,33 kali (2013-2016) menjadi 2,05 kali (2016-2019) dan nilai ekonomi manggarai barat sebesar 1,7 kali (2013-2016) mengalami penurunan menjadi 1,5 kali (2016-2019). Ini menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi berbanding terbalik dengan pertumbuhan wisatawannya.

Kepadatan pariwisata yang terjadi di Taman Nasional Komodo secara tidak langsung dapat mempengaruhi kelangsungan hidup Komodo dan makhluk hidup lainnya. Diperoleh dari hasil kajian, bahwa kapasitas ideal Taman Nasional Komodo dalam menampung wisatawan ialah sebanyak 219.000 dan maksimal sebanyak  292.000 kunjungan per tahun, dilihat dari panjang jalur terpendek trekking, lama berjalan rata-rata wisatawan, lama berkunjung wisatawan dan tingkat kenyamanan berwisata serta dengan mempertimbangkan Nilai Jasa Ekosistem di dalamnya.

Jika jumlah kunjungan lebih dari nilai maksimal dapat menyebabkan Jasa Ekosistem berkurang, mulai dari Jasa Ekosistem Sumberdaya Genetik, Jasa Ekosistem Biodiversitas, Jasa Ekosistem Penyediaan Air Bersih, Jasa Ekosistem Pengaturan Iklim, Jasa Ekosistem Produksi Primer (Oksigen), Jasa Ekosistem Ruang Hidup, Jasa Ekosistem Ecotourism, Jasa Ekosistem Estetika dan lainnya yang diperkirakan nilainya mencapai Rp. 11 T.  Sedangkan jika dilakukan pembatasan maka nilai yang hilang menurun menjadi Rp 10 M dan masih mampu dilakukan perbaikan serta pemulihan dengan tetap mendapatkan nilai manfaat secara ekonomi dan berkelanjutan.

Pengurangan nilai Jasa Ekosistem dipengaruhi oleh dua faktor, faktor geologis dan faktor sosial. Faktor geologis ditunjukkan dengan adanya pengaruh dari perubahan iklim terhadap kadar produktivitas primer (Oksigen) dalam keterbatasan Daya Dukung dan Daya Tampung wilayah ke depannya. Untuk nilai produktivitas primer pada tahun 2021 sebesar 2.198.677.815 kg/tahun yang bersumber dari luasan hutan, savana, terumbu karang serta ketersediaan zona pelagis, dan akan pada tahun 2045 akan mengalami penurunan menjadi sebesar 1.099.338.907 kg/tahun.

Sedangkan faktor sosial, seperti penggunaan lahan untuk pembangunan homestay yang mengakibatkan terjadinya pengurangan cadangan air tanah, banyaknya sampah ataupun limbah dari wisatawan baik di darat maupun wilayah perairan.

Irman Firmansyah, Pimpinan Tim Kajian Daya Dukung Daya Tampung Berbasis Jasa Ekosistem di Taman Nasional Komodo mengungkapkan, “Jika upaya konservasi yang ketat tidak diberlakukan, dan kunjungan wisatawan tidak dibatasi, kita akan melihat penurunan signifikan dalam nilai jasa ekosistem di dalam Taman Nasional Komodo terutama di Pulau Komodo dan Pulau Padar. Jangan heran jika kegiatan pariwisata pun akan ikut punah.”

Maka dari itu, tegas Irman, semua pihak sudah saatnya untuk membuka mata dan bekerja sama dalam mewujudkan pariwisata yang berkelanjutan serta melestarikan ekosistem makhluk hidup di dalamnya.

“Ke depannya, semua hasil kajian akan dipublikasikan dalam bentuk jurnal internasional dan buku hasil kajian yang dapat diakses dan dibaca oleh khalayak umum,” pungkas Irman.

banner