banner
Penyerahan "policy brief" kepada Nelwan Harahap, Asisten Deputi Kedaruratan dan Manajemen Pasca Kemenko PMK RI. Foto: Istimewa
Berita

Regulasi PUB Hambat Partisipasi Warga dan Munculnya Sumber Daya Alternatif SDGs

160 views

Jakarta, MajalahCSR.id – Aliansi Filantropi untuk Akuntabilitas Sumbangan menilai regulasi terkait PUB (Pengumpulan Uang atau Barang) yang menjadi rujukan dalam penggalangan sumbangan justru menghambat hak dan partisipasi warga untuk berkontribusi dan mendukung pemerintah dalam mengatasi masalah sosial melalui kegiatan filantropi (kedermawanan sosial).

Kebijakan yang disorot oleh Aliansi khususnya Undang-Undang No. 9/1961 tentang PUB dan Peraturan Menteri Sosial (Permensos) No. 8/2021 mengenai Penyelenggaraan PUB yang menjadi rujukannya. Kebijakan PUB ini jugs berpotensi mengkriminalisasi lembaga sosial dan filantropi yang terlibat dalam penanganan bencana dan menyulitkan mereka untuk mendukung program-program jangka panjang, termasuk pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).

Hal ini tertuang dalam Policy Brief Aliansi Filantropi untuk Akuntabilitas Sumbangan yang dipaparkan kepada jurnalis media pada acara media briefing yang digelar di Jakarta, Jumat (17/03/23). Policy brief tersebut disusun berdasarkan pemetaan berbagai hambatan dan persoalan yang dihadapi lembaga filantropi dalam menggalang, mengelola, dan mendayagunakan sumbangan masyarakat. Policy brief tersebut rencananya akan diserahkan kepada Kementerian Sosial, Kemenko PMK, Komisi VIII DPR, dan pemangku kepentingan lainnya.

Hamid Abidin, Koordinator Aliansi Filantropi untuk Akuntabilitas Sumbangan, menyatakan bahwa kegiatan filantropi yang tengah berkembang pesat di Indonesia sudah terbukti bisa menjadi sumber daya alternatif dalam mendukung pemerintah memenuhi kebutuhan masyarakat dan mengatasi persoalan sosial. Bahkan, berdasarkan Peraturan Presiden No. 111/2022, filantropi diakui sebagai salah satu pilar dan pendukung dalam pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. “Sayangnya, dukungan dan kontribusi tersebut justru dihambat oleh regulasi pemerintah sendiri, yakni Permensos Penyelenggaraan PUB dan UU PUB yang menjadi rujukannya,” katanya.

Hamid menjelaskan Permensos Penyelenggaraan PUB menjadi penghambat kegiatan Filantropi, khususnya penggalangan sumbangan, karena pasal-pasal atau ketentuan dalam kebijakan tersebut tidak relevan dengan kondisi dan perkembangan kegiatan filantropi sehingga sulit untuk diterapkan. Hal ini tergambar dari beberapa ketentuan yang ada di peraturan tersebut, di antaranya:

  • Ketentuan mengenai perizinan (pasal 3 ayat 3) mustahil diterapkan oleh lembaga filantropi yang bergerak dalam penanganan bencana yang membutuhkan respon cepat, sementara pengurusan izin PUB membutuhkan waktu berminggu-minggu bahkan sampai lebih dari sebulan.
  • Ketentuan yang mengatur cakupan PUB menjadi penggalangan sumbangan skala lokal, regional, dan nasional (pasal 1, 2, 3, dan 4) sulit diterapkan di era filantropi digital seperti sekarang ini yang tidak mengenal batas wilayah dalam penggalangan donasi.
  • Paradigma atau pengertian sumbangan dimaknai sebagai kegiatan temporer dan berorientasi pada kegiatan karitatif (pasal 14 ayat 1, pasal 16, dan pasal 25 ayat 3) sehingga menyulitkan pengelola PUB untuk mengembangkan program-program strategis dan berorientasi jangka panjang.
  • Penetapan masa berlaku perijinan (pasal 11 ayat 1 dan 2) dan masa pelaporan sumbangan (pasal 25 ayat 3) sulit diterapkan oleh organisasi yang memiliki program filantropi yang sifatnya rutin dan kontinyu sepanjang tahun.
  • Ketentuan dana operasional 10% untuk kegiatan penggalangan sumbangan (pasal 18 ayat 1 dan 2) juga menghambat penyelenggara PUB untuk menyalurkan sumbangan ke wilayah terpencil dan terluar.
  • Mengabaikan dan mematikan inisiatif penyelenggaraan sumbangan yang dilakukan oleh individu, komunitas, dan perusahaan (pasal 3 ayat 1 dan 2).
  • Kebijakan antar kementerian terkait PUB yang tidak sinkron dan tumpang tindih.

Di luar ketentuan-ketentuan PUB yang dianggap tidak relevan, masalah teknis juga menjadi penghambat bagi lembaga filantropi dalam mematuhi dan menerapkan Permensos Penyelenggaraan PUB. Hal ini disampaikan oleh Rinsan Tobing dari Save The Children yang mengungkapkan pengalamannya dalam mengurus izin PUB. Beberapa kendala teknis yang dihadapi, di antaranya:

  • Ketidakpastian dan lamanya jangka waktu pengurusan izin PUB yang bisa memakan waktu lebih dari 3 bulan.
  • Mekanisme perizinan berjenjang, birokratis, dan persyaratan yang rumit.
  • Inkonsistensi pelayanan perizinan PUB yang tergambar dari penerapan ketentuan dan persyaratan yang berbeda-beda karena tidak adanya juknis (petunjuk teknis) penerapan regulasi tersebut.
  • Ketentuan-ketentuan dalam SK Mensos yang tercantum di izin PUB tidak sejalan dengan Permensos 8/2021 dan sulit diimplementasikan, misalnya pembuatan berita acara penyaluran oleh notaris, permintaan audit laporan keuangan, dll.

Selain itu, kebijakan PUB juga tidak sinkron dan tumpang tindih dengan kebijakan lainnya yang diungkapkan oleh Arif R. Haryono yang mewakili lembaga Filantropi Islam (Dompet Dhuafa). Arif menjelaskan bahwa dalam beberapa kesempatan Kementerian Sosial meminta Lembaga Amil Zakat yang mengelola Zakat, Infak, dan Sedekah untuk mematuhi Permensos Penyelenggaraan PUB dengan mengajukan perizinan penggalangan sumbangan (PUB).

“Lembaga Zakat sudah diatur oleh Undang[1]Undang 23/2011 tentang Pengelolaan Zakat. Aturan mengenai PUB di Permensos selain tumpang tindih dengan UU Pengelolaan Zakat juga menambah masalah birokratisasi dan aturan restriktif bagi aktivitas kemanusiaan di wilayah terdampak bencana, baik di dalam maupun luar negeri,” kata Arif.

Mengingat pentingnya partisipasi warga dalam membantu pemerintah mengatasi persoalan sosial melalui kegiatan penyelenggaraan sumbangan, Aliansi mendesak Kementerian Sosial untuk segera merevisi Permensos 8/2021 secara partisipatif dengan melibatkan organisasi dan pegiat filantropi. Hasil revisi peraturan tersebut harus dilengkapi dengan petunjuk teknis untuk kejelasan implementasi PUB.

Selain itu, Kemenko PMK, DPR RI, atau pemangku kepentingan lainnya perlu untuk mendorong dan memfasilitasi dialog antara Kemensos dengan penyelenggara PUB agar berbagai kendala dan permasalahan dalam implementasi PUB dapat segera teratasi dan dicarikan solusinya. Para pemangku kepentingan tersebut juga diminta mendukung inisiatif DPR RI untuk segera merevisi UU 9/1961 yang menjadi akar masalah dalam regulasi penyelenggaraan sumbangan.

banner