Jakarta, MajalahCSR.id – Hampir satu pertiga dari hasil produksi pangan di dunia terbuang sia-sia menjadi sampah makanan (WFP, 2020) dan kira-kira 23-48 juta ton makanan terbuang setiap tahunnya di Indonesia. Pangan yang terbuang ini seharusnya dapat memberi makan 61-125 juta orang (Bappenas, 2021). Butuh waktu lama, bahkan bertahun-tahun untuk menumbuhkan tanaman pangan, namun hanya butuh beberapa detik untuk menyia-nyiakan makanan. Oleh karena itu, Indonesia memerlukan solusi nyata untuk mengurangi sampah makanan, mewujudkan sistem pangan yang berkelanjutan, dan mendorong generasi muda turut berpartisipasi menjaga kelestarian lingkungan hidup untuk masa depan.
Sekolah Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia (SIL UI) selaku aktor akademisi yang berfokus pada isu keberkelanjutan lingkungan hidup mengadakan webinar hybrid yang bertopik Kajian Problematika Sampah Makanan di Tengah Krisis Pangan Dunia Akibat Perubahan Iklim pada Jumat, (8/9/2023) di Gedung IASTH, SIL UI, Salemba, Jakarta. Tri Edhi Budhi Soesilo selaku Direktur SIL UI menyampaikan dalam sambutan pembukanya, “Saya berharap agar selanjutnya untuk tidak hanya menyelesaikan persoalan dengan mengadakan seminar saja seperti hari ini, namun berwujud pada aksi nyata dari semua yang hadir.”
Sejumlah tantangan signifikan yang dihadapi Indonesia dalam upaya mengatasi isu pangan seperti malnutrisi, kelaparan, dan kerawanan pangan memerlukan sebuah sistem pangan yang berkelanjutan. Nita Yulianis, Direktur Kewaspadaan Pangan dan Gizi dari Badan Pangan Nasional menekankan, “Dengan adanya tantangan perubahan iklim seperti El Nino, dan inflasi, maka diperlukan upaya-upaya dari pemangku kepentingan seperti kolaborasi sinergis pentahelix dalam membangun suatu sistem pangan yang berkelanjutan.”
Hal ini juga ditegaskan oleh Agus Rusli, Direktur Adaptasi Perubahan Iklim KLHK “Secara umum, Indonesia adalah negara penghasil sampah makanan (food loss dan food waste) terbesar kedua di dunia, sehingga dibutuhkan kerja sama semua pihak menjadi tantangan bagi Indonesia untuk mengatasi hal ini,” ujarnya.
“Indeks Ketahanan Pangan (IKP) Indonesia dalam Global Food Security Index (GFSI) berada di level 60,2, di mana angka ini menunjukkan masih di bawah rata-rata global 62,2 dan rata-rata Asia Pasifik 63,4,” ungkap Adriani Kusumawardani, Asisten Deputi Keamanan dan Ketahanan Maritim dari Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi. Ketahanan pangan adalah tantangan yang cukup kompleks, sehingga memerlukan keterlibatan seluruh pihak seperti pemerintah, swasta dan masyarakat. Perhatian intensif terhadap kondisi pangan nasional dan upaya serius dalam menangani ancaman potensial sangatlah penting dalam hal menjaga ketahanan pangan nasional.
Penanganan isu problematika sampah makanan memerlukan kerja keras dan komitmen jangka panjang dari para pemangku kepentingan terkait. Ristika Putri Istanti dari Lingkar Temu Kabupaten Lestari atau LTKL menekankan, “LTKL berperan sebagai katalisator, sebagai asosiasi dari seluruh dari kabupaten di Indonesia yang saat ini beranggotakan kurang lebih 400-an kabupaten, di mana ruang lingkup kabupaten yang bersinggungan langsung dengan pemanfaatan ekosistem dengan penggunaannya bagi kesejahteraan masyarakat, untuk selanjutnya saling mengenalkan dan mengaplikasikan praktik baik di kabupaten lain di Indonesia dan menggerakkan aksi kolektif bersama.
Nadya Pratiwi selaku pemilik bisnis Nasi Peda Pelangi sebagai salah satu mitra binaan LTKL berujar, “Yang kami lakukan secara konkret, nasinya langsung kami ambil dari petani, sisa makanan dari central kitchen, maupun di warung, kita kasih ke teman kita untuk diolah menjadi pupuk, dan kadang pupuk diberikan kembali ke kami untuk digunakan pada lahan cocok tanam kami sendiri.”
Upaya lainnya dari FoodCycle Indonesia sebagai bank pangan. “Kami berdiri sejak tahun 2017. Ada 700 ton makanan yang sudah kita salurkan, bekerja sama dengan sekitar 100 mitra organisasi. Sebagai food bank, di sini kami berada di tengah, mau menjadi jembatan antara pihak yang berlebih makanan seperti restoran, supermarket dengan pihak yang kekurangan seperti anak jalanan, rumah yatim dan lainnya.” ungkap Astrid Paramita.
Antusiasme para peserta acara webinar SIL UI sangat terasa. Peserta yang hadir berasal dari berbagai kalangan seperti akademisi, dunia usaha, NGO, dan media. Ini membuktikan, isu pangan menjadi isu kompleks dan penting untuk dikelola dengan baik. Lebih jauh, berbicara tentang persoalan krisis pangan global, solusi yang diupayakan harus bersifat inklusif dengan melibatkan seluruh pihak. Ini bukan soal tugas dan wewenang pemerintah saja, melainkan tanggung jawab bersama umat manusia.