banner
Ilustrasi Sampah Plastik. Foto : Shutterstock
Wawasan

Sektor Swasta Bisa Dorong Masyarakat Peduli Penanganan Limbah di Lautan

990 views

MajalahCSR.id – Penanggulangan limbah di laut tak bisa dilakukan satu pihak saja. Perlu kolaborasi dan kerja sama antar pemangku kepentingan. Peringatan hari laut sedunia (World Oceans Day) pada 8 Juni lalu bertemakan “inovasi untuk laut berkelanjutan”. Kalimat ini memiliki arti yang luas dan tegas. Mengapa lautan tidak “sustainable”dan perlu inovasi untuk menyelamatkannya? Jawabannya menunjuk pada sektor swasta (perusahaan, lembaga non profit, dan LSM). Mereka punya pengaruh kuat dalam jangka pendek atau panjang.

Sekedar perbandingan, wilayah bahari yang dieksploitasi untuk tujuan bisnis ternyata lebih luas dibanding kepentingan non komersial pada umumnya. Hal itu memperlihatkan, seberapa besar dampaknya. Kombinasi kekayaan kelautan mulai penangkapan ikan, pariwisata, perdagangan dan transportasi (pengiriman barang lewat lautan) per tahunnya mencapai USD 2,5 triliun, sementara kerusakkan yang ditimbulkan bisa senilai USD 428 miliar pada 2050.

TerraCycle Menjaring Limbah Sampah di Sungai. Foto : TerraCycle

Kerusakkan ini dimulai dari meningkatnya permukaan air laut hingga ekosistem laut. Penyebabnya mulai dari yang langsung seperti limbah pukat penangkap ikan, suhu yang makin menghangat (pemanasan global), penurunan pH air laut (sebagian besar oleh aktivitas manusia yang memicu emisi gas CO2 di mana tiga puluh persennya diserap laut), dan polusi plastik akibat setiap menit truk sampah memuntahkan muatannya yang bermuara ke lautan.

Dikutip dari greenbiz, ini semua adalah definisi dari ketidakberlanjutan (unsustainable). Kondisi ini tak hanya mempengaruhi kemampuan kita dalam mengeksplorasi laut, tapi utamanya membunuh laut itu sendiri. Memang masih jauh dari api untuk menyelesaikan persoalan ke depan. Yang perlu diwaspadai, 2050 adalah tahun di mana kita akan menyaksikan hilangnya koral dari laut, sementara jumlah limbah plastik lebih banyak dibanding hewan laut. Hal ini benar-benar terjadi jika kita tak melakukan penanganan limbah.

Industri tak seluruhnya siap mengatasi kebocoran zat kimia, atau plastik ke lautan, atau sekedar mengumpulkan limbah (untuk diolah lagi). Ada pendekatan yang lebih tepat, namun tidak efisien menurut “bisnis pada umumnya”, yaitu menyelesaikannya lewat inovasi. Tak hanya pada teknologi, tapi juga menciptakan sistem dan dukungan finansial yang mempercepat kemajuan dengan pendekatan baru.

Membereskan soal polusi, sektor swasta bisa menginisiasi kolaborasi dan kerja sama dengan sektor publik (pemerintah), untuk menghimpun minat, mengurangi risiko proses dan memberi nilai tambah pada pemangku kepentingan.

Saat pemerintah melambat penanganannya, karena ekonomi dan infrastruktur dalam kondisi tak menentu (akibat pandemi), sektor swasta bisa mengambil alih lewat kerja sama dengan komunitas, sambil tetap menjalankan prosedur ramah lingkungan. Semua permasalahannya bermuara pada ekonomi, investasi di bidang infrastruktur lokal, teknologi dan perangkat untuk pengumpulan (limbah), sumberdaya manusia guna mendukung pasar untuk material daur ulang di negara berkembang. Semua itu dilakukan demi menghentikan plastik menjadi limbah pencemar.

Di wilayah yang kurang dukungan secara ekonomi, akan sukar bagi sistem lokal mendukung pengumpulan limbah (80 persen limbah plastik di laut berasal dari darat). Pada area ini, lembaga nirlaba TerraCycle menyokong dengan memasang perangkap sampah di sungai, seperti dilakukannya di Thailand. Namun selain itu, TerraCycle tetap mengedukasi masyarakat di sana untuk mengubah perilaku mereka terhadap limbah plastik.

Yang perlu diingat, saat dunia mengalami kemunduran dalam manajemen sampah, termasuk upaya mendaur ulang limbah yang semestinya, inovasi sektor swasta lah yang perlu mengambil inisiatif. Perlindungan lingkungan dan pengembangan ekonomi, serta laut yang sehat adalah keniscayaan sekarang dan masa depan.

banner