banner
Jalannya webinar "Saatnya Ganti Jurus" yang mengupas soal materi buku 22 Jurus Stakeholder Engagement, Sabtu (21/5/2022). Foto : Istimewa
Wawasan

Yuk Berguru pada Para Ahli Corporate Social Responsibility!

581 views

MajalahCSR.id – Ada pepatah mengatakan, carilah ilmu sampai ke negeri China. Begitulah memang jika kita berburu ilmu. Haruslah langsung pada pakarnya, sehingga tak bias saat memahami ilmu apapun yang dicari. Oleh karena itu, sejumlah pakar CSR dan sustainability business hadir dalam webinar bertajuk “Saatnya Ganti Jurus” pada Sabtu (21/5/2022) kemarin yang diinisiasi majalahcsr.id. Webinar dihelat dalam rangka peluncuran buku “22 Jurus Stakeholder Engagement” yang ditulis oleh 5 praktisi senior di bidang CSR.

Menurut salah satu penulis Irpan Kadir, buku ini disusun dari berbagai persoalan dan peristiwa yang terjadi di lapangan ketika berhubungan dengan pemangku kepentingan, atau stakeholder. Dengan kata lain, pengalaman langsung yang dihadapi oleh para penulis yang memang praktisi senior CSR. “Namun (meskipun berdasarkan pengalaman) ada penjelasan konsepnya, (cara) hingga bagaimana melakukan perencanaan,” terang Irfan.

Masih menurut Irpan, tim penulis dalam buku tersebut mencoba mem-breakdown kekeliruan yang terjadi saat program sustainability korporasi dilakukan, namun masih saja ada protes dari warga di lokasi yang juga bagian dari stakeholder.

“Dari 22 jurus yang disebutkan dalam buku tersebut, sebenarnya banyak (ilmu) yang beririsan,” sebut satu-satunya penulis di buku tersebut, Yuli Sari Yeni. “Seperti (ilmu) komunikasi, bagaimana kita mendengarkan, membuat report, monitoring, sampai pada perusahaan Tbk yang diwajibkan membuat sustainability report yang merupoakan bagian tanggungjawab ke stakeholder. Lalu yang tak kalah penting adalah pengelolaan risiko terkait stakeholder yang kita anggap penting dan bagaiomana mengelolanya dan lalu dituliskan (dalam buku),” imbuhnya.

Sementara itu Ditto Santoso yang juga penginisiasi buku menyebutkan, buku ini adalah bagian dari upaya berbagi pengalaman. “Tidak melulu soal teori-teori yangsangat kompleks seputar stakeholder management,” cetus Ditto. Ketika kita berbicara soal relasi pemangku kepentingan, hal ini, terang Ditto, adalah multiverse, karena ada banyak ranah keilmuan yang saling kait mengait. “Bukan hanya melulu sola ilmu komunikasi, sosiologi, antropologi, atau public relations misalnya, melainkan banyak hal terkait di situ.”

Pakar lain berbicara

Sambutan baik atas peluncuran buku juga datang dari Sonny Sukada, Direktur Eksekutif CCPHI. Sonny menilai bahwa meskipun buku 22 Jurus Stakeholder Engagement berasal dari pengalaman para penulisnya, namun tetap berpegang struktur pengetahuan atau keilmuan. Sonny menyebut belum ada buku dalam Bahasa Indonesia yang memaparkan pengalaman lapangan dengan sejumlah acuan yang sering dirujuk termasuk ISO 26000.

“Di buku disebutkan stakeholder engagement atau pelibatan pemangku kepentingan. Padahal pelibatan adalah involvement. (Sebenarnya) ada perbedaaan yang saling melengkapi antara involvement dan engagement, atau saya lebih cenderung membahasakannya dengan membangun hubungan daripada membina,” jelas Sonny.

Perusahaan ketika akan membangun relasi dengan pemangku kepentingan di sekitar wilayahnya, tentu akan membutuhkan sebuah acuan atau kerangka. Hal ini agar pendekatannya lebih tepat guna. “Strategi yang digunakan seharusnya strategi ‘sniper’, bukan strategi senapan mesin (yang memuntahkan banyak peluru sebelum mencapai sasaran). Ini terkait dengan (strategi) komunikasi. Jangan berkomunikasi dengan semuanya, tetapi kita harus terarah. Hal (cara berkomunikasi) ini juga merupakan proses yang ‘never ending’. Jadi, membangun hubungan yang positif, konstruktif, memang harus dilakukan secara terus menerus,” tambah Sonny.

Soal lain yang perlu digarisbawahi yang menurut Sonny belum terlalu banyak diungkap dalam buku, adalah soal hubungan internal (korporasi). “Jika tadi dalam membangun hubungan eksternal, kita punya kerangka, (sebaliknya) dari dalam perusahaan pun kita butuh dukungan. Karena apabila tidak mendapat dukungan dari kalangan internal, kita jadi seperti ‘pemadam kebakaran’. Yang jelas improvement perlu juga dilakukan untuk menyempurnakan 22 jurus yang dipaparkan dalam buku,” ujar Sonny.

Di lain pihak, Arifadi Budiarjo, yang juga pakar CSR, menyatakan pentingnya untuk mengidentifikasi stakeholder. “Jika kita lihat dari ISO 26000, stakeholder adalah para pihak yang mendapatkan dampak dari kebijakan atau operasi suatu perusahaan, maupun pihak-pihak yang dapat mempengaruhi kebijakan atau operasi (korporasi atau organisasi/lembaga). Identifikasi yang dilakukan mulai dari profil, kepentingan (stakeholder), juga harapan-harapan mereka.”

Dari identifikasi ini, lalu dikembangkan strategi komunikasi, berinteraksi, dan membangun kepercayaan pada stakeholder. Sehingga bisa mendukung pengembangan usaha, bahkan bisa bersama-sama memitigasi risiko yang ditimbulkan dari suatu operasi perusahaan. Dalam kaitan stakeholder ini, jelas Arif, termasuk pemerintah.

“Pemerintah sebagai bagian dari pemangku kepentingan, dengannya perusahaan harus membangun relasi yang konstruktif. Karena yang juga terjadi banyak relasi yang sifatnya lebih transaksional, padahal sebenarnya terdapat peluang untuk membangun hubungan yang konstruktif, saling mendukung seperti dalam isu bersama, contohnya Tujuan Pembangunan Berkelanjutan yang bisa jadi ‘common goal’ bagi organisasi (lembaga/korporasi) . (Ketika hubungan konstruktif terjalin) hal ini justru akan menimbulkan kolaborasi dengan pemerintah turut membantu perusahaan dalam menjalankan usahanya karena mendapat dukungan dari para pemangku kepentingan termasuk pemerintah,” paparnya panjang lebar.

Pentingnya social listening dalam stakeholder engagement

Choiriyah Anggraini, peneliti CSR dan akademisi di Telkom University, menekankan pentingnya social listening dalam proses pelibatan pemangku kepentingan. “Terkait masalah relasi stakeholder yang kata kuncinya adalah relasi yang konstruktif, yang menjadi poin penting dalah kepekaan korporasi dalam kemampuan melakukan ‘listening’ atau saya menyebutnya ‘social listening’.

Jika sebelumnya disebutkan bahwa perusahaan harus memiliki kerangka (dalam proses pelibatan stakeholder), maka sejak 2016 kerangka yang Choriyah ajukan adalah bagaimana organisasi korporasi mampu masuk dalam sebuah relasi dimulai dari kepekaan social listening memahami konteks budaya.

“Konteks budaya yang tidak hanya mengakar pada masalah bahasa saja, tetapi kemampuan kita melihat bahwa individu itu adalah juga produk budaya dengan segala ‘diversity’ yang melekat pada mereka. Artinya bahwa setiap stakeholder sudah memiliki kepercayaan, sudut pandang, nilai, inilah yang harus diterjemahkan. Dari situ kita bisa membangun komunikasinya melalui komunikasi personal,” imbuhnya.

Social listening, active dan emphatic listening perlu dilakukan agar kita mendapatkan data, bukan hanya data semata, tetapi juga sudut pandang, keinginan stakeholder. “Kenapa? Karena kalau dilihat kerangka akhirnya adalah menciptakan mereka (stakeholder) untuk menjadi ‘belongs’ pada kita (korporasi). (lalu) bagaimana menciptakan stakeholder itu ‘belongs’ pada kita, maka harus diawali oleh kemampuan kita untuk mendengarkan secara menyeluruh,” tutur dosen muda ini.

Bagaimana juga aplikasi dari cara mendengarkan secara menyeluruh? “Caranya dengan ‘netnographical sensibility’. Yaitu kemampuan dengan sensibility masuk ke dalam lingkaran stakeholder yang secara terus menerus memetakan mereka (secara inklusivitas), sehingga menjadikan mereka belongs pada kita,” sebutnya.

Memanfaatkan teknologi digital untuk merangkum semua isu-isu stakeholder yang harapannya pada akhirnya membuat stakeholder jadi belongs atau terlibat dengan apa yang sudah dilakukan oleh korporat.

Terkait dengan teknologi digital yang bersentuhan dengan generasi z dan alpha (dalam kaitannya dengan multistakeholder), Choriyah menyebutnya bahwa golongan ini buka terliterasi dengan dunia digital, karena meskipun bisa mengakses informasi, tetapi belum mampu mengelompokkan informasi.

“Mereka punya banyak informasi namun belum mampu menggunakan informasi. Maka yang perlu dilakukan adalah menyediakan ‘kamar-kamar’ atau ruangan-ruangan untuk mereka agar bisa memasukkan informasi,” usul Chorriyah. Permasalahan selanjutnya adalah kemampuan adaptif digital yang belum menyeluruh. Dosen jebolan Universitas Brawijaya ini lantas memberikan saran dengan penggunaan netnografi digital. Perlu dilihat adalah imbal balik seseorang terhadap pemasalahan yang diikuti. Jika membaca berita digital, maka yang dilihat bukan konten digital itu, melainkan justru respon melalui komen mereka terhadap berita atau isu yang dibaca.

“Hal ini akan memberikan kita (informasi) sebenarnya yang mereka pahami itu apa,” sebutnya. Jadi bukan sekedar tingkat literasi, melainkan juga mencermati tingkat pemahaman mereka.  Hal ini dilakukan bukan secara manual, melainkan melalui sistem berdasarkan media monitoring.

banner